Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menalar Otak Pembunuh dari Kasus Bocah 8 Tahun Tewas di Bak Mandi

Kompas.com - 04/07/2019, 20:03 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

Sumber Quartz


KOMPAS.com - Setelah sempat kabur, pelaku pembunuhan terhadap bocah berusia 8 tahun di Bogor, akhirnya menyerahkan diri ke Polsek Mogga di Pemalang, Jawa Tengah, Rabu (3/7/2019).

Pelaku H (23) yang bekerja sebagai penjual bubur di Bogor itu mengaku dihantui rasa takut dan menyesal setelah membunuh FA.

Di hadapan polisi, H mengaku kesal setelah diganggu korban saat dirinya ingin beristirahat usai berjualan.

Tak ada yang mengharap hidup FA akan berakhir demikian. Namun, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa ada banyak kisah tragis dan menyedihkan seperti FA di berbagai negara.

Banyak nyawa melayang di tangan orang terdekat, entah itu keluarga, tetangga, atau teman masa kecil.

Baca juga: Benarkah Pembunuh Itu Orang yang Otaknya Rusak?

Para ahli belum memiliki cara untuk meramalkan apakah seseorang mampu melalukan pembunuhan. Sains belum mengungkap tanda tentang kemungkinan orang yang tampaknya normal, sedang berencana melakukan suatu kejahatan keji.

Melansir Quartz, ahli saraf Robert Burton yang mempelajari pola kemarahan selama 30 tahun menemukan bahwa para pembunuh keji tampak seperti orang normal lainnya, sampai entah bagaimana tiba-tiba mereka tidak menyukai seseorang dan ingin melakukan kekerasan atau membunuhnya.

Berbicara tentang pembunuhan, seorang profesor psikologi dari Universits Texas-Austin, David Buss, menemukan bahwa 91 persen pria dan 84 persen wanita punya pikiran untuk membunuh seseorang.

Pikiran untuk membunuh ini bervariasi, ada yang hanya sebatas memikirkan ingin membunuh kemudian keinginan itu dikubur, ada juga yang benar-benar merencanakannya.

Kesimpulan mencengangkan ini didapat Buss setelah dia menyurvei 5.000 orang sebagai nara sumber dalam bukunya, The Murderer Next Door: Why the Mind is Designed to Kill.

Kenyataannya, secara biologis kita semua pernah mengalami kekerasan atau dalam situasi tertentu yang menjengkelkan.

Douglas Fields, ahli ilmu saraf dan penulis buku Why We Snap mengatakan, otak manusia berevolusi untuk memantau bahaya dan memicu agresi dalam menanggapi setiap bahaya yang dirasakan, sebagai mekanisme pertahanan.

"Kita semua memiliki kapasitas untuk melakukan kekerasan ketika ada dalam situasi tertentu. Hal ini dilakukan agar bisa bertahan dan melanjutkan hidup," imbuh Fields.

Fields menambahkan, pelajaran agresi defensif atau melakukan serangan untuk bertahan tidak perlu diajarkan kepada manusia, karena hal ini sudah mengalir dalam darah kita.

Respons menyerang untuk bertahan umumnya terjadi sangat cepat. Sayangnya, sifat manusia satu ini begitu sensitif.

Contoh kecil, banyak orang mudah emosi bila berada di jalan raya, entah karena pengendara lain yang ugal-ugalan atau macet, sehingga dengan mudah kita mengucap sumpah serapah.

Hal-hal yang sering dialami manusia ini membuat Fields berpikir, stres atau tekanan dapat membuat siapa pun lebih peka terhadap ancaman potensial, sehingga lebih mudah gelisah dan melakukan hal mengerikan. Tak terkecuali orang yang tampak baik, mereka juga bisa mendapat pemicu yang mendorong melakukan hal mengerikan.

"Ini bukan pendapat. Ini fakta," tegas Fields.

"Lihatlah berbagai kejahatan yang muncul ketika sedang marah. Pelaku dalam hal ini adalah orang-orang yang sebelumnya tidak percaya bahwa mereka memiliki kecenderungan agresif," jelas Fields.

Fields mengatakan, dengan menyadari bagaimana otak bekerja, akan membantu kita meredam respons terhadap ancaman yang dirasakan.

Idealnya, kita semua tahu bahwa stres membuat lebih sensitif. Namun kita juga harus sadar, bahwa dengan meluapkan emosi pada orang lain juga sebuah kesalahan, artinya ini bukan respons yang tepat.

Baca juga: Jadi Pembunuh Senyap, Polusi Udara Bisa Sangat Merusak Kesehatan

Untuk menghadapi persoalan seperti ini dan menekan angka kematian akibat kemarahan, Fields menyarankan agar para remaja diberi pemahaman secara spesifik alasan mereka marah sebenarnya dikendalikan oleh otak, dan tidak ada keuntungan dalam respons agresif.

"Menurut saya ini lebih efektif dibanding meminta mereka mengendalikan kemarahan," ujar Fields.

Tekanan sosial, termasuk norma budaya dan pedoman hukum benar-benar memengaruhi dorongan biologis manusia untuk melakukan kekerasan hingga pembunuhan.

Namun selama hal itu bisa dikendalikan dari otak, kita tidak akan melakukan hal merugikan tersebut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Sumber Quartz
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com