KOMPAS.com - Menurut data AirVisual, situs penyedia peta polusi online harian kota-kota besar di seluruh dunia, pada Selasa (25/6/2019) pukul 8.00 WIB Jakarta menempati urutan pertama kota dengan tingkat polusi tertinggi.
Kemarin, Nilai Indeks Kualitas Udara (AQI) Jakarta 240 atau dalam kategori sangat tidak sehat. Kategori sangat tidak sehat berada di rentang nilai AQI 200-300, dan dapat memengaruhi kesehatan masyarakat.
Pada Selasa sekitar pukul 12.24 nilai AQI Jakarta menunjukkan angka 164 dan berada di urutan nomor 4 setelah Dubai, New Delhi, dan Santiago.
Meski begitu, angka ini masih berada di kategori tidak sehat, yakni antara 151-200.
Baca juga: Polusi Udara, Pembunuh Senyap di Ibu Kota
Namun, apa yang dimaksud AQI?
Berdasar keterangan laman airnow.gov, penghitungan AQI berdasarkan lima polutan udara utama, yakni ozon tingkat dasar, polusi partikel, karbon monoksida, sulfur dioksida, dan nitrogen dioksida.
Dalam hal ini, partikel ozon dan udara di permukaan tanah merupakan dua polutan yang menimbulkan ancaman terbesar bagi kesehatan manusia.
Nilai AQI mulai dari 0 sampai 500. Semakin tinggi nilai AQI, artinya semakin besar tingkat polusi udara dan semakin besar masalah kesehatan yang bisa ditimbulkan.
Jika nilai AQI berada di bawah 100, ini sudah sesuai dengan standar kualitas udara untuk polutan dan aman untuk kesehatan. Namun jika sudah di atas 100, udara dianggap sebagai masalah bagi kelompok orang tertentu yang sangat sensitif.
Perlu digarisbawahi, situs ini mengukur indeks standar pencemaran udara (ISPU) di kota-kota besar dunia, dengan alat pemantau yang dipasang di kompleks Kedutaan Besar AS di tiap negara. Artinya, data yang dipantau secara real time dapat berubah setiap saat.
Keadaan polusi udara berdasar alat SPKU yang dimiliki Indonesia
Selama ini Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di ibu kota diukur berdasar 5 stasiun pemantau kualitas udara (SPKU) yang ada di Provinsi DKI Jakarta.
5 SPKU tadi berada di Bundaran HI, Kelapa Gading, Jagakarsa, Lubang Buaya, dan Kebon Jeruk.
Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Energi Greenpeace Indonesia mengatakan bahwa tingkat polusi udara di Jakarta meningkat pada pagi hari.
"Memang di Jakarta biasanya kalau pagi tinggi banget, menjelang siang mulai jam 10 (pagi) sudah mulai menurun," ujar Bondan kepada Kompas.com, Rabu (26/6/2019).
Dia pun menambahkan, angka PM 2,5 yang diambil dari Kedubes AS kurang lebih sama dengan alat pemantau yang ada di KLHK, Gelora Bung Karno.
Partikulat (PM 2.5) adalah partikel debu yang berukuran 2.5 mikron. Jika kita bandingkan dengan sehelai rambut manusia, setara dengan 1/30 nya. Standar yang diterapkan WHO dan Nasional itu adalah batas konsentrasi polusi udara yang diperbolehkan berada dalam udara ambien.
Perubahan tingkat polusi udara yang berlangsung dalam hitungan jam atau menit ini bisa dipengaruhi oleh arah mata angin, klimatologi, dan lain sebagainya.
Baca juga: WHO: Perangi Polusi Udara Bisa Perpanjang Umur Manusia
Sementara itu sumber polutan yang ramai diperdebatkan netizen sebenarnya ada banyak. Namun untuk memastikan hal tersebut, Bondan berharap pemerintah daerah atau kota mau transparan dengan masyarakat dan membuka data tersebut agar dapat ditemukan solusi bersama.
"Harusnya ini pemerintah dibuka datanya. Karena itu akan menjadi kajian sumber polutan kita datang dari mana saja. Hingga saat ini data resmi itu tidak pernah ditemukan," ujar Bondan.
Hal ini tidak berlaku untuk Jakarta saja, tapi semua pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Bagaimanapun, polusi udara juga dirasakan di berbagai daerah, meski dengan tingkat polutan berbeda.
"Minimal tiap tahun dibuka dan ada data yang mewakili tiap musim. Ini karena tiap musim arah anginnya berbeda," imbuh dia.
Bila semua data sumber polutan dimiliki, setidaknya warga mengetahui, dan solusi dapat ditemukan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.