Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Polusi Jakarta Buruk saat Pagi, Greenpeace Minta Pemerintah Buka Data

Kemarin, Nilai Indeks Kualitas Udara (AQI) Jakarta 240 atau dalam kategori sangat tidak sehat. Kategori sangat tidak sehat berada di rentang nilai AQI 200-300, dan dapat memengaruhi kesehatan masyarakat.

Pada Selasa sekitar pukul 12.24 nilai AQI Jakarta menunjukkan angka 164 dan berada di urutan nomor 4 setelah Dubai, New Delhi, dan Santiago.

Meski begitu, angka ini masih berada di kategori tidak sehat, yakni antara 151-200.

Namun, apa yang dimaksud AQI?

Berdasar keterangan laman airnow.gov, penghitungan AQI berdasarkan lima polutan udara utama, yakni ozon tingkat dasar, polusi partikel, karbon monoksida, sulfur dioksida, dan nitrogen dioksida.

Dalam hal ini, partikel ozon dan udara di permukaan tanah merupakan dua polutan yang menimbulkan ancaman terbesar bagi kesehatan manusia.

Nilai AQI mulai dari 0 sampai 500. Semakin tinggi nilai AQI, artinya semakin besar tingkat polusi udara dan semakin besar masalah kesehatan yang bisa ditimbulkan.

Jika nilai AQI berada di bawah 100, ini sudah sesuai dengan standar kualitas udara untuk polutan dan aman untuk kesehatan. Namun jika sudah di atas 100, udara dianggap sebagai masalah bagi kelompok orang tertentu yang sangat sensitif.

Perlu digarisbawahi, situs ini mengukur indeks standar pencemaran udara (ISPU) di kota-kota besar dunia, dengan alat pemantau yang dipasang di kompleks Kedutaan Besar AS di tiap negara. Artinya, data yang dipantau secara real time dapat berubah setiap saat.

Keadaan polusi udara berdasar alat SPKU yang dimiliki Indonesia

Selama ini Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di ibu kota diukur berdasar 5 stasiun pemantau kualitas udara (SPKU) yang ada di Provinsi DKI Jakarta.

5 SPKU tadi berada di Bundaran HI, Kelapa Gading, Jagakarsa, Lubang Buaya, dan Kebon Jeruk.

Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Energi Greenpeace Indonesia mengatakan bahwa tingkat polusi udara di Jakarta meningkat pada pagi hari.

"Memang di Jakarta biasanya kalau pagi tinggi banget, menjelang siang mulai jam 10 (pagi) sudah mulai menurun," ujar Bondan kepada Kompas.com, Rabu (26/6/2019).

Dia pun menambahkan, angka PM 2,5 yang diambil dari Kedubes AS kurang lebih sama dengan alat pemantau yang ada di KLHK, Gelora Bung Karno.

Partikulat (PM 2.5) adalah partikel debu yang berukuran 2.5 mikron. Jika kita bandingkan dengan sehelai rambut manusia, setara dengan 1/30 nya. Standar yang diterapkan WHO dan Nasional itu adalah batas konsentrasi polusi udara yang diperbolehkan berada dalam udara ambien.

Perubahan tingkat polusi udara yang berlangsung dalam hitungan jam atau menit ini bisa dipengaruhi oleh arah mata angin, klimatologi, dan lain sebagainya.

Sementara itu sumber polutan yang ramai diperdebatkan netizen sebenarnya ada banyak. Namun untuk memastikan hal tersebut, Bondan berharap pemerintah daerah atau kota mau transparan dengan masyarakat dan membuka data tersebut agar dapat ditemukan solusi bersama.

"Harusnya ini pemerintah dibuka datanya. Karena itu akan menjadi kajian sumber polutan kita datang dari mana saja. Hingga saat ini data resmi itu tidak pernah ditemukan," ujar Bondan.

Hal ini tidak berlaku untuk Jakarta saja, tapi semua pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Bagaimanapun, polusi udara juga dirasakan di berbagai daerah, meski dengan tingkat polutan berbeda.

"Minimal tiap tahun dibuka dan ada data yang mewakili tiap musim. Ini karena tiap musim arah anginnya berbeda," imbuh dia.

Bila semua data sumber polutan dimiliki, setidaknya warga mengetahui, dan solusi dapat ditemukan.

https://sains.kompas.com/read/2019/06/26/140520223/polusi-jakarta-buruk-saat-pagi-greenpeace-minta-pemerintah-buka-data

Terkini Lainnya

Kisah Penemuan Kerabat T-Rex, Tersembunyi di Laci Museum Selama 50 Tahun
Kisah Penemuan Kerabat T-Rex, Tersembunyi di Laci Museum Selama 50 Tahun
Fenomena
Planet Baru Mirip Bumi Ditemukan Mengorbit Bintang Katai 
Planet Baru Mirip Bumi Ditemukan Mengorbit Bintang Katai 
Fenomena
Mengapa Evolusi Bisa Menjelaskan Ukuran Testis Manusia Tapi Tidak Dagu Kita yang Unik
Mengapa Evolusi Bisa Menjelaskan Ukuran Testis Manusia Tapi Tidak Dagu Kita yang Unik
Kita
Paus Pembunuh Berbagi Mangsa dengan Manusia: Tanda Kepedulian atau Rasa Ingin Tahu?
Paus Pembunuh Berbagi Mangsa dengan Manusia: Tanda Kepedulian atau Rasa Ingin Tahu?
Oh Begitu
Apakah Kucing Satu-Satunya Hewan yang Bisa Mengeluarkan Suara Mendengkur?
Apakah Kucing Satu-Satunya Hewan yang Bisa Mengeluarkan Suara Mendengkur?
Oh Begitu
Siapakah Pemburu Terhebat dan Terburuk di Dunia Hewan? 
Siapakah Pemburu Terhebat dan Terburuk di Dunia Hewan? 
Oh Begitu
Misteri Sepatu Raksasa Romawi Kuno, Siapakah Pemiliknya?
Misteri Sepatu Raksasa Romawi Kuno, Siapakah Pemiliknya?
Oh Begitu
Bagaimana Wujud Neanderthal dan Denisovan Jika Masih Hidup Hari Ini?
Bagaimana Wujud Neanderthal dan Denisovan Jika Masih Hidup Hari Ini?
Kita
NASA Temukan Objek Antar-Bintang yang Melintas Cepat di Tata Surya
NASA Temukan Objek Antar-Bintang yang Melintas Cepat di Tata Surya
Fenomena
Keindahan Planet Merkurius Terlihat Jelas di Langit Senja Juli Ini
Keindahan Planet Merkurius Terlihat Jelas di Langit Senja Juli Ini
Oh Begitu
Ditemukan, Planet Ekstrem yang Memicu Semburan Energi di Bintang Induknya
Ditemukan, Planet Ekstrem yang Memicu Semburan Energi di Bintang Induknya
Oh Begitu
Bisakah Serigala dan Rubah Kawin Silang? Ini Jawaban Ilmiahnya
Bisakah Serigala dan Rubah Kawin Silang? Ini Jawaban Ilmiahnya
Oh Begitu
Satelit “Zombie” NASA Kembali Hidup, Pancarkan Sinyal Radio Setelah 60 Tahun Mati Total
Satelit “Zombie” NASA Kembali Hidup, Pancarkan Sinyal Radio Setelah 60 Tahun Mati Total
Oh Begitu
Teleskop Webb Ungkap Rahasia Materi Gelap di Zona Tabrakan Kosmik
Teleskop Webb Ungkap Rahasia Materi Gelap di Zona Tabrakan Kosmik
Fenomena
Peneliti Temukan Saklar Kolesterol, Harapan Baru Cegah Penyakit Jantung, Diabetes, dan Kanker
Peneliti Temukan Saklar Kolesterol, Harapan Baru Cegah Penyakit Jantung, Diabetes, dan Kanker
Kita
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke