KOMPAS.com – Proyek Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru saat ini tengah menjadi pusat perdebatan dan menuai perhatian publik.
Bagi masyarakat sekitar sendiri, terdapat pro dan kontra terkait proyek PLTA yang diproyeksikan dapat menghasilkan daya listrik 510 megawatt tersebut.
Novi Rovika, aktivis dari Centre for Orangutan Protection (COP), mengatakan bahwa masyarakat daerah Simarboru (Sipirok, Marancar, dan Batang Toru) saat ini tengah merasakan kebingungan antara hendak menolak atau melawan.
Kesimpulan tersebut didapatkan dari hasil assesment cepat terhadap warga daerah Simarboru, yang meliputi bagian hulu, tengah, dan hilir proyek PLTA ini.
Di sekitar hulu bendungan PLTA, masyarakat Desa Bulu Payung, Kecamatan Sipirok, merasa tertipu oleh kontraktor. Semula warga mendukung keberadaan PLTA dengan harapan akan membuka lapangan pekerjaan baru.
Namun nyatanya, tidak ada warga Bulu Payung yang dipekerjakan karena tidak memiliki keahlian mumpuni untuk pengerjaan proyek. Warga juga merasa terintimidasi oleh kehadiran pekerja asing dan aparat keamanan yang bersenjata.
COP juga menemukan banyaknya kesepakatan jual beli lahan yang tidak adil, dimana harga ganti rugi lahan hanya berkisar antara Rp. 4000 hingga 18.000 per meternya. Temuan ini banyak dilaporkan terjadi di Kecamatan Marancar.
Baca juga: Orangutan Tapanuli Perlu Dilindungi, Mengapa?
“Proses jual-beli tanah banyak menggunakan calo, tanah juga banyak tidak bersertifikat. Sering dijumpai adanya manipulasi oleh warga masyarakat itu sendiri, bahkan tidak jarang masih berkerabat dekat," papar Novi pada awak media di Sibolga, Selasa (30/4/2019).
Di sisi lain, masyarakat yang semula berharap dilibatkan dalam proyek juga banyak yang telah melepas lahan yang selama ini menjadi ladang pencaharian mereka, sehingga kerugian yang mereka derita menjadi dua kali lipat.
Masyarakat Desa Hapesong, yang terletak di kawasan hilir sungai Batang Toru, khawatir akan dampak keberadaan bendungan. Warga yang kebanyakan berprofesi sebagai petani takut akan berkurangnya pasokan air untuk keperluan irigasi, serta cemas akan potensi bencana banjir yang dapat dipicu oleh pembabatan hutan demi pembukaan lahan.
Minim sosialisasi
Menurut Novi, berdasarkan hasil assesment cepat pada masyarakat sekitar, belum menyebarnya sosialisasi yang dilakukan oleh North Sumatera Hydro Energy (NHSE) selaku pengembang proyek.
“Masyarakat lebih banyak tahu lewat media atau obrolan di lapo. Masyarakat yang tahu juga tidak banyak berbicara soal ini," ujar Novi.
Sosialisasi justru dilakukan oleh Jaringan Monitoring Tambang (JMT).
Ketakutan terbesar yang dialami warga adalah adanya potensi bencana yang dapat ditimbulkan keberadaan bendungan jika terjadi banjir, yang belakangan ini sering terjadi terutama setelah hujan lebat.
Baca juga: Relawan Temukan Dua Bayi Orangutan Tapanuli, Apa Artinya?