Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pembangunan PLTA Batang Toru, Warga Lokal Dipenuhi Kekhawatiran

Kompas.com - 07/05/2019, 21:00 WIB
Julio Subagio,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Proyek Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru saat ini tengah menjadi pusat perdebatan dan menuai perhatian publik.

Bagi masyarakat sekitar sendiri, terdapat pro dan kontra terkait proyek PLTA yang diproyeksikan dapat menghasilkan daya listrik 510 megawatt tersebut.

Novi Rovika, aktivis dari Centre for Orangutan Protection (COP), mengatakan bahwa masyarakat daerah Simarboru (Sipirok, Marancar, dan Batang Toru) saat ini tengah merasakan kebingungan antara hendak menolak atau melawan.

Kesimpulan tersebut didapatkan dari hasil assesment cepat terhadap warga daerah Simarboru, yang meliputi bagian hulu, tengah, dan hilir proyek PLTA ini.

Di sekitar hulu bendungan PLTA, masyarakat Desa Bulu Payung, Kecamatan Sipirok, merasa tertipu oleh kontraktor. Semula warga mendukung keberadaan PLTA dengan harapan akan membuka lapangan pekerjaan baru.

Namun nyatanya, tidak ada warga Bulu Payung yang dipekerjakan karena tidak memiliki keahlian mumpuni untuk pengerjaan proyek. Warga juga merasa terintimidasi oleh kehadiran pekerja asing dan aparat keamanan yang bersenjata.

COP juga menemukan banyaknya kesepakatan jual beli lahan yang tidak adil, dimana harga ganti rugi lahan hanya berkisar antara Rp. 4000 hingga 18.000 per meternya. Temuan ini banyak dilaporkan terjadi di Kecamatan Marancar.

Baca juga: Orangutan Tapanuli Perlu Dilindungi, Mengapa?

“Proses jual-beli tanah banyak menggunakan calo, tanah juga banyak tidak bersertifikat. Sering dijumpai adanya manipulasi oleh warga masyarakat itu sendiri, bahkan tidak jarang masih berkerabat dekat," papar Novi pada awak media di Sibolga, Selasa (30/4/2019).

Di sisi lain, masyarakat yang semula berharap dilibatkan dalam proyek juga banyak yang telah melepas lahan yang selama ini menjadi ladang pencaharian mereka, sehingga kerugian yang mereka derita menjadi dua kali lipat.

Masyarakat Desa Hapesong, yang terletak di kawasan hilir sungai Batang Toru, khawatir akan dampak keberadaan bendungan. Warga yang kebanyakan berprofesi sebagai petani takut akan berkurangnya pasokan air untuk keperluan irigasi, serta cemas akan potensi bencana banjir yang dapat dipicu oleh pembabatan hutan demi pembukaan lahan.

Minim sosialisasi

Menurut Novi, berdasarkan hasil assesment cepat pada masyarakat sekitar, belum menyebarnya sosialisasi yang dilakukan oleh North Sumatera Hydro Energy (NHSE) selaku pengembang proyek.

“Masyarakat lebih banyak tahu lewat media atau obrolan di lapo. Masyarakat yang tahu juga tidak banyak berbicara soal ini," ujar Novi.

Sosialisasi justru dilakukan oleh Jaringan Monitoring Tambang (JMT).

Ketakutan terbesar yang dialami warga adalah adanya potensi bencana yang dapat ditimbulkan keberadaan bendungan jika terjadi banjir, yang belakangan ini sering terjadi terutama setelah hujan lebat.

Baca juga: Relawan Temukan Dua Bayi Orangutan Tapanuli, Apa Artinya?

“Jelas dan terang bahwa perusahaan mengabaikan prinsip Free Prior and Informed Consent (FPIC) yang merupakan hak masyarakat untuk mengatakan “ya dan bagaimana” atau “tidak” untuk pembangunan yang mempengaruhi sumber daya dan wilayah mereka”, ujar Hardi Baktiantoro, Founder & Principal COP.

Rencana proyek PLTA Batang Toru

Proyek PLTA 510 MW ini tengah dibangun di Kecamatan Sipirok, Marancar, dan Batang Toru dengan menggunakan bendungan setinggi 72,5 meter sebagai penampungan air.

Air yang ditampung kemudian dialihkan melalui terowongan bawah tanah sepanjang 13 km untuk menggerakkan 4 turbin yang memutar generator pembangkit.

Untuk menggerakan turbin, aliran sungai dari bagian hulu akan ditampung selama 18 jam kemudian dilepaskan selama 6 jam. Pola operasi seperti ini dinamakan “peaker”, dimana suplai listrik dialirkan saat kebutuhan listrik memuncak.

Di sepanjang terowongan, mulai dari bendungan hingga powerhouse, akan dibangun jalan dan jalur SUTET.

Ancaman bagi ekosistem

Onrizal, Dosen dari Program Studi Kehutanan, Universitas Sumatera Utara (USU), menganggap bahwa proyek pembangunan PLTA ini memiliki bahaya besar.

“Penampungan air selama 18 jam untuk menggerakan turbin ini pastinya mengurangi debit air ke sungai-sungai kecil. Belum diketahui efeknya bagi irigasi tapi pasti akan memudahkan akses bagi pemburu dan pembalak liar," ujarnya.

Dapat dipastikan akan terjadinya penurunan kualitas air akibat material limbah galian dan peningkatan sedimentasi sungai.

Baca juga: Viral Tes Kesehatan Mata Online, Dokter Sebut Tak Ada Dasar Ilmiahnya

Onrizal juga menekankan bahwa ekosistem Batang Toru memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, namun seluruhnya berada dalam ancaman akibat proyek ini.

”Hutan kita menyediakan pohon dan ruang hidup luar biasa, keanekaragaman tinggi, tapi tersebar, dimana satu plot bisa jadi hanya ditemukan satu individu pohon saja," ujarnya.

“Saat hutan dibuka, jenis tersebut akan hilang, banyak juga yang belum ada asesmennya atau belum masuk daftar IUCN," tambahnya.

Onrizal juga mengungkapkan kekecewaannya dan merasa ditipu dalam pembuatan AMDAL yang dijadikan landasan pembangunan PLTA Batang Toru.

“AMDAL tahun 2016 bermasalah, tidak ada catatan tentang harimau dan orangutan, hanya flora-fauna domestik saja, dan itu yang dijadikan dokumen untuk pengadilan”, ungkapnya.

Pembangunan PLTA Batang Toru melenyapkan koridor yang menghubungkan tiga populasi orangutan Tapanuli, spesies kera besar paling langka, yang saat ini hanya berjumlah 800 ekor saja.

Hal ini pulalah yang mendorong Bank of China selaku pemberi modal PLTA Batang Toru untuk meninjau kembali proyek senilai 1,6 Milyar USD ini.

Baca juga: Banyak Diprotes, Bank of China Evaluasi Kembali PLTA Batangtoru

Potensi banjir dan gempa

Selain ancaman bagi keanekaragaman hayati, lokasi PLTA Batang Toru juga berada dalam kawasan rawan bencana.

Peta bahaya banjir Kabupaten Tapanuli Selatan. Peta bahaya banjir Kabupaten Tapanuli Selatan.

Berdasarkan peta bahaya banjir yang dipublikasikan oleh BNPB dan BPBD Tapanuli Selatan, daerah hilir Sungai Batang Toru merupakan titik rawan banjir dengan intensitas tinggi.

Selain banjir, kawasan ini juga dihantui oleh potensi gempa.

Peta potensi titik gempa di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Peta potensi titik gempa di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara.

Berdasarkan Peta Geologi Indonesia untuk kawasan Padang Sidempuan dan Sibolga, lokasi ini berdekatan dengan Patahan Sumatera Besar (Great Sumatran Fault), dimana sejak tahun 1965, tercatat 60 gempa bumi dengan magnitudo terkecil sekitar 3,5 skala Richter.

Baca juga: Bagaimana Caranya agar GERD Tidak Kumat Selama Ramadhan?

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com