Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Orangutan Tapanuli Perlu Dilindungi, Mengapa?

Kompas.com - 07/05/2019, 13:47 WIB
Julio Subagio,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) ini menjadi spesies kera besar terlangka. Menurut International Union for Conservation of nature (IUCN), populasi orangutan itu kini hanya 800 dan dikategorikan Critically Endagered.

Namun alasan pelestarian spesies yang semula disamakan dengan orangutan Sumatera (Pongo abelii) itu bukan cuma jumlahnya. Jenis yang baru ditemukan tahun 2017 punya peran besar di alam dan bisa menjadi model pembelajaran bagi manusia.

“Orangutan di alam berperan sebagai polinator dan penyebar biji”, terang Puji Rianti, peneliti orangutan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) pada beberapa awak media di Sibolga, Selasa (30/4/2019).

Orangutan yang memiliki daya jelajah luas serta bersifat frugivora (pemakan buah). Saat menelusuri hutan dengan cara bergelantungan dari satu pohon ke pohon lain, orangutan secara tidak langung akan menyebarkan biji.

Orangutan juga dapat dijadikan model untuk memahami pembentukan budaya manusia.  Induk orangutan layaknya manusia, merawat dan mengajari anaknya hingga usia sekitar 8 tahun.

“Induk orangutan mengajari anaknya mencari dan mengolah makanan, buah mana yang bisa dimakan, gimana bukanya, juga mengajari cara pembuatan sarang”, ujar Sheila Kharismadewi Silitonga, Manajer Riset Camp Mayang, stasiun monitoring orangutan di Hutan Batang Toru.

Bagi ekosistem Batang Toru, orangutan Tapanuli sangat penting. Walau memiliki biodiversitas tumbuhan tinggi, jenis hewan yang berperan sebagai polinator rendah. Jika orangutan hilang, maka tumbuhan hutan kehilangan banyak peluang untuk menyebar.

Manusia pun akan merugi sebab kehilangan makluk yang bisa menjadi cerminan dirinya. Dari orangutan, manusia bisa belajar tentang bagaimana kemampuan kognisi dan spasial diajarkan dan diturunkan.

Baca juga: Cerita Kami Menemukan Orangutan Tapanuli, Jenis Baru dan Terlangka

Pelestarian orangutan Tapanuli adalah tugas mahaberat. Saat fokus mengajari anaknya hingga usia 8 tahun, induk jenis itu takkan bereproduksi sama sekali. Ini berarti kera besar itu hanya menghasilkan rata-rata 1 anakan saja dalam 8 tahun. Reproduksinya sangat lambat.

Area persebaran yang sangat luas juga memperkecil frekuensi pertemuan antar orangutan, menyulitkan reproduksi. satu-satunya kesempatan emas bagi jantan dan betina spesies itu adalah musim buah. Di luar musim itu, orangutan Tapanuli bakal berdiam di teritorinya.

Tantangan reproduksi bertambah berat ketika pembangunan infrastruktur oleh manusia mengganggu kestabilan ekosistem hutan. Kasus yang jelas adalah pembangunan PLTA Batang Toru.

Saat ini, diperkirakan populasi orangutan Tapanuli terbagi menjadi tiga populasi kecil, yaitu 600 ekor di Blok Barat, 160 ekor di Blok Timur, dan 30 ekor di Sibualbuali. Kawanan di tiga blok itu sebelumnya bisa lebih mudah bertemu tetapi kini terganggu.

Ketiga blok dengan populasi orangutan Tapanuli serta lokasi pembangunan PLTA Batang Toru dalam kotak merah. Ketiga blok dengan populasi orangutan Tapanuli serta lokasi pembangunan PLTA Batang Toru dalam kotak merah.

Keberadaan proyek PLTA Batang Toru yang berlokasi di area koridor alamiah menghambat terjadinya pertemuan dan perkawinan. Ini memicu fragmentasi lanjutan dan kawin sedarah akibat ketiadaan aliran gen antar populasi kecil, menjadikannya rentan kepunahan

Sebenarnya, pengembang proyek PLTA Batang Toru membuat jembatan arboreal untuk dapat dilewati orangutan. Namun sampai sekarang, belum ada orangutan yang terdokumentasi menggunakan jembatan tersebut.

Baca juga: Demi Kera Besar Terlangka di Dunia, Koalisi Indonesia Surati Jokowi

Puji mengatakan, pembangunan jembatan itu sendiri perlu dievaluasi. "Asessment-nya harus jelas dan memang orangutan bisa menggunakan itu akses makan," katanya di sela kunjungan bersamna Kompas.com di lokasi sekitar PLTA Batang Toru.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau