KOMPAS.com – Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) ini menjadi spesies kera besar terlangka. Menurut International Union for Conservation of nature (IUCN), populasi orangutan itu kini hanya 800 dan dikategorikan Critically Endagered.
Namun alasan pelestarian spesies yang semula disamakan dengan orangutan Sumatera (Pongo abelii) itu bukan cuma jumlahnya. Jenis yang baru ditemukan tahun 2017 punya peran besar di alam dan bisa menjadi model pembelajaran bagi manusia.
“Orangutan di alam berperan sebagai polinator dan penyebar biji”, terang Puji Rianti, peneliti orangutan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) pada beberapa awak media di Sibolga, Selasa (30/4/2019).
Orangutan yang memiliki daya jelajah luas serta bersifat frugivora (pemakan buah). Saat menelusuri hutan dengan cara bergelantungan dari satu pohon ke pohon lain, orangutan secara tidak langung akan menyebarkan biji.
Orangutan juga dapat dijadikan model untuk memahami pembentukan budaya manusia. Induk orangutan layaknya manusia, merawat dan mengajari anaknya hingga usia sekitar 8 tahun.
“Induk orangutan mengajari anaknya mencari dan mengolah makanan, buah mana yang bisa dimakan, gimana bukanya, juga mengajari cara pembuatan sarang”, ujar Sheila Kharismadewi Silitonga, Manajer Riset Camp Mayang, stasiun monitoring orangutan di Hutan Batang Toru.
Bagi ekosistem Batang Toru, orangutan Tapanuli sangat penting. Walau memiliki biodiversitas tumbuhan tinggi, jenis hewan yang berperan sebagai polinator rendah. Jika orangutan hilang, maka tumbuhan hutan kehilangan banyak peluang untuk menyebar.
Manusia pun akan merugi sebab kehilangan makluk yang bisa menjadi cerminan dirinya. Dari orangutan, manusia bisa belajar tentang bagaimana kemampuan kognisi dan spasial diajarkan dan diturunkan.
Baca juga: Cerita Kami Menemukan Orangutan Tapanuli, Jenis Baru dan Terlangka
Pelestarian orangutan Tapanuli adalah tugas mahaberat. Saat fokus mengajari anaknya hingga usia 8 tahun, induk jenis itu takkan bereproduksi sama sekali. Ini berarti kera besar itu hanya menghasilkan rata-rata 1 anakan saja dalam 8 tahun. Reproduksinya sangat lambat.
Area persebaran yang sangat luas juga memperkecil frekuensi pertemuan antar orangutan, menyulitkan reproduksi. satu-satunya kesempatan emas bagi jantan dan betina spesies itu adalah musim buah. Di luar musim itu, orangutan Tapanuli bakal berdiam di teritorinya.
Tantangan reproduksi bertambah berat ketika pembangunan infrastruktur oleh manusia mengganggu kestabilan ekosistem hutan. Kasus yang jelas adalah pembangunan PLTA Batang Toru.
Saat ini, diperkirakan populasi orangutan Tapanuli terbagi menjadi tiga populasi kecil, yaitu 600 ekor di Blok Barat, 160 ekor di Blok Timur, dan 30 ekor di Sibualbuali. Kawanan di tiga blok itu sebelumnya bisa lebih mudah bertemu tetapi kini terganggu.
Keberadaan proyek PLTA Batang Toru yang berlokasi di area koridor alamiah menghambat terjadinya pertemuan dan perkawinan. Ini memicu fragmentasi lanjutan dan kawin sedarah akibat ketiadaan aliran gen antar populasi kecil, menjadikannya rentan kepunahan
Sebenarnya, pengembang proyek PLTA Batang Toru membuat jembatan arboreal untuk dapat dilewati orangutan. Namun sampai sekarang, belum ada orangutan yang terdokumentasi menggunakan jembatan tersebut.
Baca juga: Demi Kera Besar Terlangka di Dunia, Koalisi Indonesia Surati Jokowi
Puji mengatakan, pembangunan jembatan itu sendiri perlu dievaluasi. "Asessment-nya harus jelas dan memang orangutan bisa menggunakan itu akses makan," katanya di sela kunjungan bersamna Kompas.com di lokasi sekitar PLTA Batang Toru.
Selain soal jembatan, pengembang proyek PLTA Batang Toru juga harus memikirkan akses makanan orangutan tapanuli. Penanaman pohon memang bisa jadi solusi tetapi hasilnya baru bisa dinikmati dalam 10-15 tahun. Manajemen konservasi jadi kunci.
Pengembang PLTA Batang Toru juga mesti mempertimbangkan agar proyeknya tak mengubah perilaku orangutan. Pengamnatan saat ini, karena interaksi dengan manusia, ada sejumlah orangutan Tapanuli yang telah terhabituasi.
"Saya lihat mereka sudah mulai berani turun ke jalan," jelasnya.
“Ketakutan terbesar saya adalah akan menimbulkan konflik dalam arti orangutan tidak takut dengan manusia. Dan mereka pasti sudah merasakan makanan manusia, orangutan akan lebih senang. Mereka lebih memilih tinggal bersama manusia dibanding mencari pakan secara liar di dalam hutan. Itu akan menimbulkan konflik," jelasnya.
Orangutan Tapanuli merupakan spesies yang unik. Meski memiliki lokasi yang berdekatan dengan orangutan Sumatera, namun berdasarkan analisis genetika, mereka justru memiliki hubungan kekerabatan yang lebih dekat dengan orangutan Kalimantan.
Diduga, pemicu isolasi yang menyebabkan ketiga spesies ini menjadi terpisah adalah letusan Gunung Toba, sekitar 75.000 tahun yang lalu, serta keberadaan koridor savana yang memisahkan Sumatera, Kalimantan, dan Jawa di era Pleistosen. Sintas dari bencana besar Toba, jangan sampai spesies ini punah karena manusia.
Baca juga: Kotoran Kelelawar Purba Jelaskan Asal Kekayaan Hayati Indonesia
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.