Teori yang dikembangkan tim Hera bersama Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes) Polri ternyata betul. Jaringan tubuh yang berasal dari tempat-tempat terjauh memiliki profil DNA yang sama. Hasil ini kemudian dibandingkan dengan profil DNA keluarga dekat yang dicurigai.
Kurang dari dua minggu, tim gabungan Eijkman-Polri berhasil mengidentifikasi pelakunya. Disebut Disaster Perpetrator Identification (DPI), teknik ini melengkapi Disaster Victim Identification (DVI) yang biasa digunakan untuk identifikasi korban bencana massal.
Penelitian mengenai genetika manusia Indonesia dengan fokus keragaman genetik terkait dengan penyebaran penyakit memang salah satu kegiatan Lembaga Eijkman. Demikianlah, suatu penelitian dasar telah menunjukkan fungsinya sebagai penunjang kepentingan terapan. Database genom populasi tidak sekadar menguak kejahatan. Variasi DNA bisa menunjukkan struktur kekerabatan populasi, pola migrasi, hingga penyakitnya.
3. Evvy Kartini
Evvy Kartini menyandang gelar Prof Dr rer nat, alias rerum naturalium atau ahli nuklir. Ini adalah salah satu gelar langka di bidang sains, setidaknya hanya ada sepuluh ahli nuklir di dunia.
Di kalangan ilmuwan Internasional Evvy sangat dihormati dan dikenal sebagai penemu penghantar listrik berbahan gelas ketika magang di Hahn Meitner Institute (HMI) Berlin, Jerman, pada 1990.
Hasil studinya diperkenalkan pada Konferensi Internasional Hamburan Netron (ICNS) Jepang pada 1996.
Sejak saat itu, nama Evvy Kartini meninggalkan jejak di jurnal-jurnal sains internasional seperti Physica B.
Sampai saat ini, Evvy masih aktif terlibat di berbagai penelitian tingkat dunia dan menjadi bagian penting di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN).
Baca juga: Penderita Kanker Meningkat, Peneliti LIPI Kembangkan Alat Deteksi Dini
4. Siti Nurul Aisyiyah Jenie
Dalam pemberitaan Kompas.com edisi November 2017, Ais telah mengembangkan penelitian untuk membuat perangkat pendeteksi sel kanker.
"Ke depannya akan dibentuk alat yang bisa dipakai masyarakat awam untuk deteksi dini kanker stadium satu atau stadium dua," kata Siti di komplek Kemenristek Dikti, Jakarta, Kamis (9/11/2017).
Siti menggunakan nanopartikel dari silika alam yang diambil dari Pembangkit Listrik Tenaga Geothermal (PLTG) Dieng. Ketersediannya cukup mudah didapatkan.
Silika nanopartikel dimodifikasi menjadi fluoresens (pancaran sinar dari suatu zat) silika nanopartikel. Kemudian, zat itu dikombinasikan dengan biomolekul yang dapat mengikat sel kanker. Menurut Siti, jika terdapat pertumbuhan sel kanker, terdapat kenaikan konsentrasi hormon tertentu.
Nantinya, alat deteksi kanker tak perlu dimasukkan ke dalam tubuh. Langkah deteksi sel kanker dilakukan dengan meletakkan sampel tubuh, seperti darah, keringat, atau urin yang diletakkan di atas nanopartikel. Jika sel kanker terdeteksi, nanopartikel silika akan bercahaya yang mengharuskan pemeriksan lebih kompleks ke rumah sakit.