KOMPAS.com - 21 April tidak hanya diperingati sebagai hari Kartini, tapi juga pengingat bahwa perempuan memiliki kemampuan untuk menjadi orang hebat di berbagai bidang, termasuk di dunia sains.
Dewasa ini perempuan bisa memiliki mimpi apapun dan mewujudkannya. Ada yang sukses menjadi seorang insinyur, astronot, pakar, maupun ibu rumah tangga.
Dari beberapa bidang yang digeluti, berikut adalah 4 kisah singkat tentang Kartini Indonesia yang mendunia.
Baca juga: Hari Kartini, Kemenkes Dorong Perempuan Berani Cuti Haid
1. Pratiwi Sudarmono
Lahir dengan nama lengkap Pratiwi Pujilestari Sudarmono, Profesor Mikrobiologi di Universitas Indonesia (UI) Jakarta itu pernah terlibat dalam misi wahana antariksa NASA STS-61-H.
Pada Oktober 1985 Pratiwi terpilih ikut ambil bagian dalam misi STS-61-H sebagai spesialis muatan. Namun karena adanya bencana Challenger, misi STS-61-H dibatalkan dan tidak pernah dijalankan.
Sebelum proyek ini berlangsung Pratiwi sudah menerima gelar Master dari Universitas Indonesia pada 1977 kemudian gelar Ph.D untuk bidang Biologi Molekuler didapat dari Universitas Osaka, Jepang pada 1984.
Pratiwi memulai karir ilmiah sebagai penerima beasiswa WHO untuk meneliti biologi molekuler Salmonella typhi.
2. Herawati Sudoyo
Metode Hera berawal dari ledakan bom bunuh diri di depan Kedutaan Besar Australia atau Bom Kedubes Australia 2004, pada tanggal 9 September 2004. Saat itu pihak Polri ditantang untuk segera mengidentifikasi pelaku dan mengungkap kelompok di baliknya.
Kejadian itu menewaskan 10 korban dan mencederai lebih dari 180 orang. Mobil boks yang mengangkut bom hancur total dan tak ada bagian tubuh yang memungkinkan untuk diidentifikasi dengan metode konvensional, seperti sidik jari, profil gigi, apalagi pengenalan wajah.
Persoalan berikutnya, bagaimana menentukan mana pelaku dan mana korban? Solusi persoalan pertama adalah identifikasi DNA.
DNA adalah rantai informasi genetik yang diturunkan. DNA inti mengandung informasi dari orangtua: ayah dan ibu.
Persoalan kedua diatasi dengan mengembangkan strategi pengumpulan dan pemeriksaan serpihan tubuh berbasis prediksi trajektori ledakan bom dan posisi pelaku. Sebagai orang yang paling dekat dengan bom, serpihan pelaku akan terlontar lebih jauh dibanding serpihan korban.
Teori yang dikembangkan tim Hera bersama Pusat Kedokteran dan Kesehatan (Pusdokkes) Polri ternyata betul. Jaringan tubuh yang berasal dari tempat-tempat terjauh memiliki profil DNA yang sama. Hasil ini kemudian dibandingkan dengan profil DNA keluarga dekat yang dicurigai.
Kurang dari dua minggu, tim gabungan Eijkman-Polri berhasil mengidentifikasi pelakunya. Disebut Disaster Perpetrator Identification (DPI), teknik ini melengkapi Disaster Victim Identification (DVI) yang biasa digunakan untuk identifikasi korban bencana massal.
Penelitian mengenai genetika manusia Indonesia dengan fokus keragaman genetik terkait dengan penyebaran penyakit memang salah satu kegiatan Lembaga Eijkman. Demikianlah, suatu penelitian dasar telah menunjukkan fungsinya sebagai penunjang kepentingan terapan. Database genom populasi tidak sekadar menguak kejahatan. Variasi DNA bisa menunjukkan struktur kekerabatan populasi, pola migrasi, hingga penyakitnya.
3. Evvy Kartini
Evvy Kartini menyandang gelar Prof Dr rer nat, alias rerum naturalium atau ahli nuklir. Ini adalah salah satu gelar langka di bidang sains, setidaknya hanya ada sepuluh ahli nuklir di dunia.
Di kalangan ilmuwan Internasional Evvy sangat dihormati dan dikenal sebagai penemu penghantar listrik berbahan gelas ketika magang di Hahn Meitner Institute (HMI) Berlin, Jerman, pada 1990.
Hasil studinya diperkenalkan pada Konferensi Internasional Hamburan Netron (ICNS) Jepang pada 1996.
Sejak saat itu, nama Evvy Kartini meninggalkan jejak di jurnal-jurnal sains internasional seperti Physica B.
Sampai saat ini, Evvy masih aktif terlibat di berbagai penelitian tingkat dunia dan menjadi bagian penting di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN).
Baca juga: Penderita Kanker Meningkat, Peneliti LIPI Kembangkan Alat Deteksi Dini
4. Siti Nurul Aisyiyah Jenie
Dalam pemberitaan Kompas.com edisi November 2017, Ais telah mengembangkan penelitian untuk membuat perangkat pendeteksi sel kanker.
"Ke depannya akan dibentuk alat yang bisa dipakai masyarakat awam untuk deteksi dini kanker stadium satu atau stadium dua," kata Siti di komplek Kemenristek Dikti, Jakarta, Kamis (9/11/2017).
Siti menggunakan nanopartikel dari silika alam yang diambil dari Pembangkit Listrik Tenaga Geothermal (PLTG) Dieng. Ketersediannya cukup mudah didapatkan.
Silika nanopartikel dimodifikasi menjadi fluoresens (pancaran sinar dari suatu zat) silika nanopartikel. Kemudian, zat itu dikombinasikan dengan biomolekul yang dapat mengikat sel kanker. Menurut Siti, jika terdapat pertumbuhan sel kanker, terdapat kenaikan konsentrasi hormon tertentu.
Nantinya, alat deteksi kanker tak perlu dimasukkan ke dalam tubuh. Langkah deteksi sel kanker dilakukan dengan meletakkan sampel tubuh, seperti darah, keringat, atau urin yang diletakkan di atas nanopartikel. Jika sel kanker terdeteksi, nanopartikel silika akan bercahaya yang mengharuskan pemeriksan lebih kompleks ke rumah sakit.