KOMPAS.com – Menyeruaknya kasus perundungan yang menimpa AD, remaja 14 tahun di Pontianak menyulut perang tagar dengan narasi dan kontra-narasi yang memenuhi media sosial. Kasus ini juga menyadarkan kita akan pentingnya pendidikan karakter, terutama bagi anak dan remaja.
Situasi masyarakat saat ini dikenal dengan era post-truth, di mana berita bohong bebas berseliweran dengan berita benar, kesadaran saring sebelum sharing rendah, serta dipenuhi warganet yang begitu reaktif dan menghakimi.
Keberadaan pendidikan karakter dapat meningkatkan tingkat empati sosial serta literasi digital anak, sehingga menciptakan ruang komunikasi di masa depan yang sehat dan tidak reaktif seperti sekarang ini.
Lantas, bagaimana seharusnya pendidikan karakter ini diterapkan?
Baca juga: Kasus Kekerasan Siswi SMP di Pontianak dari Kacamata Psikologi Remaja
Pertama-tama, kita perlu menyadari bahwa terdapat masalah dalam ekosistem pendidikan saat ini.
“Pendidikan kita punya banyak jargon dan aturan, namun dalam segi implementasinya bermasalah,” tutur Anggi Afriansyah, Peneliti Pendidikan Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, dalam diskusi “Ada Apa dengan Remaja? Berkaca dari Kasus Perundungan di Era Digital” di Jakarta, Senin (15/4/2019).
Menurut Anggi, tujuan pendidikan saat ini hanya ideal di atas kertas, di mana tujuannya adalah untuk membentuk insan yang cerdas, pandai, bertalenta, rajin, berkarakter baik, dan berahklak mulia.
Anggi beranggapan bahwa paradigma ini kurang tepat karena tidak memanusiakan individu, namun memaksanya menjadi “malaikat”.
Pemahaman filsafat dari Romo Driyarkaya menjelaskan bagaimana seharusnya pendidikan memanusiakan individu, yakni membantu seseorang menjadi manusia lewat memahami jati diri, menempatkan diri dalam situasi apapun, mengambil sikap, menentukan nasib sendiri dan membantu individu menyelami dunianya.
“Model ini memberi konteks dan mengenalkan konsekuensi bagi siswa”, ujar Anggi.
Baca juga: Tangkal Cyber-bullying, Sistem Baru Ini Lebih Cepat dan Akurat
Anggi juga menambahkan soal pentingnya menerapkan pemahaman perspektif yang berbeda pada siswa.
“Siswa kalangan atas yang selalu difasilitasi selama ini akan merasakan tekanan berat saat tiba-tiba mengalami masalah. Kita harus membuatnya mengenal bahwa ada orang yang mengalami kesulitan lebih berat,” paparnya.
Penerapannya dapat dicapai dengan memperbanyak paparan dan diskusi antar golongan yang selama ini dianggap “berbeda”, baik itu dari segi tingkat sosial, agama, ras dan suku, atau bahkan pandangan politik.
Anggi juga mengajak baik guru maupun orang tua agar turut hadir dalam kehidupan anaknya.
“Di sekolah, guru, terutama wali kelas, wajib mengenal anak didiknya serta tahu peristiwa apa saja yang terjadi di kelas”, tuturnya.
“Orangtua selama ini memberikan perhatian pada anaknya sebatas pada pemenuhan materi, seperti gadget, kendaraan, dan sebagainya, tapi tidak tahu aktivitas harian yang dilakukannya” tambahnya.
Orangtua, guru, serta orang dewasa secara umum dapat berperan sebagai role model bagi pembentukan karakter anak, melalui sikap praktis dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekedar konsep teoritis yang diajarkan.
Selain itu, penting untuk memperkenalkan anak akan konsekuensi yang akan dihadapinya atas perilaku dan keputusan yang diambilnya, sehingga anak menumbuhkan empati dan kepekaan sosial.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.