Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Punya Penyakit Jantung? Hindari Suhu Dingin atau Panas Saat Berlibur

Kompas.com - 15/04/2019, 19:34 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Penulis

BOGOR, KOMPAS.com – Pasien dengan risiko penyakit atau serangan jantung disarankan oleh dr Sari Sri Mumpuni, Sp.JP (K), FIHA, dokter spesialis jantung dan pembuluh darah konsultan kardiologi intervensi RS Pondok Indah – Pondok Indah untuk lebih pilih-pilih soal destinasi liburan.

Pasalnya, cuaca yang terlalu dingin atau terlalu panas, serta aktivitas yang terlalu berat, dapat memicu kekambuhan pada pasien dengan riwayat dan faktor risiko penyakit jantung.

Dalam paparan bertajuk “Penanganan Kegawatdaruratan Medis Saat Liburan” yang diadakan di Royal Tulip Gunung Geulis Resort & Golf, Bogor, Jumat (12/4/2019), Sari menjelaskan bahwa suhu yang terlalu panas dapat menyebabkan dehidrasi sehingga menimbulkan pengentalan darah dan gangguan elektrolit.

Akibatnya, pasien mengalami peningkatan debaran jantung yang bisa mengancam jiwa jika terjadi komplikasi.

Baca juga: Tak Direkomendasikan WHO, Amankah Minum Obat Penghenti BAB Saat Diare?

Selain itu, cuaca panas juga bisa membuat pembuluh darah melebar. Pada orang-orang yang meminum obat hipertensi, hal ini bisa menyebabkan hipotensi.

Sebaliknya, suhu dingin dapat membuat pembuluh darah menyusut sehingga tekanan darah naik.

Pada lokasi dengan ketinggian di atas 4000 meter dari permukaan laut, seperti daerah pegunungan, pasien yang mengidap hipertensi juga bisa mengalami peningkatan tekanan darah yang membuat jantung merasa letih. Hal ini bisa berujung pada serangan jantung.

Time is Muscle

Nah, bila terjadi kekambuhan penyakit jantung koroner berupa serangan jantung, maka penanganan yang cepat adalah kunci untuk menghindari kerusakan otot jantung yang lebih parah.

Time is muscle. Kita harus bertindak cepat demi menyelamatkan otot jantung dari kerusakan yang lebih parah,” kata Sari.

Golden period (periode emas) untuk menyelamatkan pasien serangan jantung adalah 6-12 jam sejak dimulainya serangan hingga waktu pemberian tindakan medis.

“Untuk meminimalisasi kerusakan otot jantung, paling bagus tiga jam. Pada periode ini, baik obat maupun tindakan (kateterisasi) memiliki hasil yang sama. Tapi kalau lebih dari tiga jam, maka tindakan (kateterisasi) memiliki hasil yang lebih baik,” ujar Sari menjelaskan lebih lanjut.

Baca juga: Penyakit Jantung Menghantui Orang Indonesia, Ini Sebabnya...

Bila pasien pingsan, periode waktunya menjadi semakin sempit. Dokter Umum dan Kepala Unit Emergency RS Pondok Indah – Pondok Indah, dr Felix Samuel, M Kes, menjelaskan bahwa literatur menyebutkan bahwa periode untuk mencegah kerusakan otak akibat kurangnya suplai oksigen berkisar antara 3-9 menit, tetapi batas optimalnya pada 4-6 menit.

“Ketika terjadi henti jantung, aliran darah ikut berhenti dan otak terhenti,” kata Felix.

Dia melanjutkan, sel otak sulit untuk beregenerasi. Jadi, waktu yang sempit itu krusial. Bila sudah melebihi, pasti menimbulkan gejala sisa. Paling sering terjadi adalah koma, tetapi bisa juga terjadi kelumpuhan total.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau