Di negara Asia, prevalensi mata minus bahkan meningkat lebih tinggi lagi. Di Seoul, Korea Selatan, sekitar 95 persen pria berusia 19 tahun telah mengalami rabun jauh.
Baca juga: Peneliti Kembangkan Obat Tetes Untuk Perbaiki Mata Minus Tanpa Operasi
Kini, dokter sedang mencari tahu penyebab di balik tren ini. Beberapa ahli menyebut sebabnya adalah genetik dan peningkatan waktu belajar serta memainkan gawai.
Beberapa peneliti lain menemukan bahwa anak-anak yang lebih sedikit bermain di luar lebih mungkin mengembangkan rabun jauh.
Terlepas dari apa yang mendorong tren ini, Handley menyebut myopia mungkin tidak mempengaruhi banyak orang di masa lalu. Dia menyebut hal ini dibuktikan dengan pembuatan kacamata rabun jauh yang lebih "terlambat".
Handley mengatakan bahwa ini menunjukkan bahwa merawat sejumlah kecil orang dengan rabun jauh tidak dianggap sebagai prioritas. Bahkan, kemungkinan orang dengan rabun jauh justru ditempatkan pada profesi khusus sehingga menganggap myopia bukan sebagai kecacatan.
"Orang rabun jauh dari 'pengobatan', sebenarnya didorong untuk tetap dalam kondisi rabun mereka, karena itu sebenarnya ideal untuk mereka melakukan pekerjaan khusus," kata Handley.
"Bahkan ada beberapa bukti bahwa mereka hampir mengembangbiakkan orang dengan harapan menghasilkan anak-anak rabun yang akan menjadi iluminator manuskrip di masa depan. Beginilah masyarakat beradaptasi dengan apa yang kita sebut kecacatan. Mereka tidak menganggapnya sebagai kecacatan," sambungnya.
Tapi, masalah rabun jauh ini ternyata lebih kompleks bagi keseharan msayarakat. Rabun jauh yang tidak diatasi bisa menghambat pendidikan anak-anak, menyebabkan kecelakaan di jalan, hingga menghambat pekerjaan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.