KOMPAS.com - Greta Thunberg, remaja Swedia yang mencetuskan ide mogok sekolah demi berkampanye menuntut aksi nyata perubahan iklim dinominasikan untuk mendapat Nobel Perdamaian.
Jumat (15/3/2019) pagi, Thunberg memimpin ribuan remaja sebayanya mogok sekolah dan berkampanye di depan gedung parlemen Swedia. Mereka memprotes lambannya penanganan perubahan iklim.
Menurut laporan The Guardian, Thunberg menjadi pelopor aksi mogok sekolah global yang diperkirakan melibatkan 1.659 kota di 105 negara.
"Kami telah mengusulkan Greta Thunberg untuk Nobel Perdamaian karena jika tidak ada yang melakukan apapun untuk perubahan iklim, itu akan memicu adanya perang, konflik, dan pengungsian besar-besaran," kata anggota parlemen Sosialis Norwegia Freddy André Øvstegård.
"Greta Thunberg telah meluncurkan gerakan massa yang berkontribusi besar untuk perdamaian," imbuhnya.
Baca juga: Studi: Kasus Keracunan Makanan akan Meningkat Akibat Perubahan Iklim
Melansir Eco Watch, Kamis (14/3/2019), Øvstegård adalah salah satu dari tiga anggota Partai Kiri Sosialis Norwegia yang mencalonkan Thunberg sebagai nomine untuk Nobel Perdamaian.
Untuk diketahui, Nobel Perdamaian bisa diberikan kepada siapa saja yang memenuhi kriteria, termasuk pejabat pemerintah nasional, mantan pemenang, dan akademisi.
Pendaftaran nama Thunberg sudah dilakukan sebelum akhir Januari lalu dan pemenang Nobel 2019 akan diumumkan pada Oktober dan hadiahnya diberikan Desember nanti. Menurut situs resmi Hadiah Nobel, ada 301 nominasi untuk Nobel 2019, meliputi 223 individu dan 78 grup.
Jika Thunberg menang, remaja 16 tahun itu bakal menjadi peraih Nobel termuda dan kedua untuk kategori perubahan iklim mengikuti Wakil Presiden AS Al Gore dan Panel Antarpemerintah yang menerima hadiah itu pada 2007.
"Saya merasa terhormat dan sangat berterima kasih atas pencalonan ini," tulis Thunberg dalam twitnya.
Honoured and very grateful for this nomination ?? https://t.co/axO4CAFXcz
— Greta Thunberg (@GretaThunberg) March 14, 2019
Tujuh bulan lalu, mungkin nama Greta Thunberg tak dikenal luas seperti sekarang. Namun sejak ia berkemping di luar gedung parlemen Swedia dan membawa spanduk bertuliskan tangan pada Agustus lalu, sosoknya mulai dikenal dunia.
"Saya menulis beberapa fakta (tentang perubahan iklim) di papan kayu dan selebaran yang saya pikir semua orang harus tahu dan kemudian saya mengayuh sepeda ke parlemen (Swedia) dan duduk di sana" katanya.
"Hari pertama, saya duduk sendiri dari jam 8.30 pagi sampai 3 sore. Kemudian di hari kedua beberapa orang mulai bergabung. Setelah itu, ada semakin banyak orang bersamaku sepanjang waktu," imbuhnya.
Aksinya memukau banyak remaja dan anak muda lain yang kecewa pada orang dewasa karena dirasa lamban menangani perubahan iklim.
Dan kini aksi mogok sekolah telah dilakukan ribuan remaja di lebih dari 100 negara. Melansir AFP, para aktivis melihat aksi ini sebagai momen bersejarah yang lahir dari akar rumput untuk menekan para pemimpin dunia berbuat lebih banyak untuk lingkungan.