Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Studi Baru, Perubahan Iklim dapat Menyebabkan Bayi Cacat Jantung

Kompas.com - 01/02/2019, 17:02 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis


KOMPAS.com - Perubahan iklim tak hanya telah melelehkan es, memutihkan terumbu karang, dan memungkinkan pohon pisang tumbuh di Korea Selatan yang beriklim subtropis. Studi terbaru menemukan perubahan iklim juga berdampak pada bayi.

Dalam jurnal yang terbit di American Heart Association, Rabu (30/1/2019), mulai 2025 perubahan iklim dapat meningkatkan angka kelahiran dengan cacat jantung, terutama di AS.

Ahli menyebut peningkatan terbesar akan dialami di Midwest, kemudian ke wilayah di Timur Laut dan Selatan.

Menurut jurnal tersebut, kelainan jantung yang diderita bayi dialami sekitar 40.000 bayi baru lahir setiap tahun di AS.

Baca juga: Tanaman Purba Berusia Ribuan Tahun Hidup Lagi karena Perubahan Iklim

Belum jelas diketahui mengapa perubahan iklim dapat menyebabkan ibu hamil melahirkan bayi dengan cacat jantung.

Namun, studi pada hewan menunjukkan panas berlebih mematikan sel dan protein yang penting untuk perkembangan janin.

Melansir Live Science, Kamis (31/1/2019), studi sebelumnya dari kelompok peneliti yang sama menemukan bahwa paparan suhu tinggi selama kehamilan dikaitkan dengan peningkatan risiko cacat jantung bawaan pada bayi. Studi ini melibatkan wanita yang melahirkan antara 1997 sampai 2007.

Dalam studi terbaru, para ahli menggabungkan data itu dengan proyeksi suhu perubahan iklim.

Tim membangun model berdasarkan prakiraan perubahan iklim yang dikumpulkan NASA dan Institusi Studi Luar Angkasa Goddard.

Mereka mensimulasikan perubahan dalam suhu maksimum harian untuk berbagi wilayah geografis di AS dan menghitung berapa banyak peristiwa panas dan panas ekstrem yang dialami wanita hamil di musim semi dan musim panas.

Antara 2025 dan 2035, mereka memprediksi suhu panas yang ditimbulkan oleh perubahan iklim mungkin memacu 7.000 kasus cacat jantung bawaan tambahan.

Mereka menemukan bahwa sebagian besar dari kasus-kasus ini berada di Midwest, diikuti kawasan Timur Laut dan Selatan.

Baca juga: Berkat Perubahan Iklim, Korea Selatan Bisa Produksi Pisang dan Mangga

"Meskipun penelitian ini masih awal, akan lebih bijaksana bagi wanita di trimester awal kehamilan untuk menghindari panas ekstrem," kata penulis senior Dr. Shao Lin, seorang associate director layanan kesehatan lingkungan dengan Universitas di Albany, Universitas Negeri New York.

Sangat penting bagi mereka yang berencana untuk hamil atau mereka yang hamil tiga sampai delapan minggu untuk menghindari panas yang ekstrem.

Live Science sebelumnya melaporkan bahwa wanita hamil yang terpapar panas selama awal kehamilan dapat mengalami hipertermia, atau suhu tubuh yang sangat tinggi, yang meningkatkan risiko memiliki bayi dengan cacat otak atau sumsum tulang belakang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com