Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dalang Mogok Sekolah demi Perubahan Iklim Jadi Nomine Nobel Perdamaian

Kompas.com - 20/03/2019, 10:15 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - Greta Thunberg, remaja Swedia yang mencetuskan ide mogok sekolah demi berkampanye menuntut aksi nyata perubahan iklim dinominasikan untuk mendapat Nobel Perdamaian.

Jumat (15/3/2019) pagi, Thunberg memimpin ribuan remaja sebayanya mogok sekolah dan berkampanye di depan gedung parlemen Swedia. Mereka memprotes lambannya penanganan perubahan iklim.

Menurut laporan The Guardian, Thunberg menjadi pelopor aksi mogok sekolah global yang diperkirakan melibatkan 1.659 kota di 105 negara.

"Kami telah mengusulkan Greta Thunberg untuk Nobel Perdamaian karena jika tidak ada yang melakukan apapun untuk perubahan iklim, itu akan memicu adanya perang, konflik, dan pengungsian besar-besaran," kata anggota parlemen Sosialis Norwegia Freddy André Øvstegård.

"Greta Thunberg telah meluncurkan gerakan massa yang berkontribusi besar untuk perdamaian," imbuhnya.

Baca juga: Studi: Kasus Keracunan Makanan akan Meningkat Akibat Perubahan Iklim

 

Melansir Eco Watch, Kamis (14/3/2019), Øvstegård adalah salah satu dari tiga anggota Partai Kiri Sosialis Norwegia yang mencalonkan Thunberg sebagai nomine untuk Nobel Perdamaian.

Untuk diketahui, Nobel Perdamaian bisa diberikan kepada siapa saja yang memenuhi kriteria, termasuk pejabat pemerintah nasional, mantan pemenang, dan akademisi.

Pendaftaran nama Thunberg sudah dilakukan sebelum akhir Januari lalu dan pemenang Nobel 2019 akan diumumkan pada Oktober dan hadiahnya diberikan Desember nanti. Menurut situs resmi Hadiah Nobel, ada 301 nominasi untuk Nobel 2019, meliputi 223 individu dan 78 grup.

Jika Thunberg menang, remaja 16 tahun itu bakal menjadi peraih Nobel termuda dan kedua untuk kategori perubahan iklim mengikuti Wakil Presiden AS Al Gore dan Panel Antarpemerintah yang menerima hadiah itu pada 2007.

"Saya merasa terhormat dan sangat berterima kasih atas pencalonan ini," tulis Thunberg dalam twitnya.

Tujuh bulan lalu, mungkin nama Greta Thunberg tak dikenal luas seperti sekarang. Namun sejak ia berkemping di luar gedung parlemen Swedia dan membawa spanduk bertuliskan tangan pada Agustus lalu, sosoknya mulai dikenal dunia.

"Saya menulis beberapa fakta (tentang perubahan iklim) di papan kayu dan selebaran yang saya pikir semua orang harus tahu dan kemudian saya mengayuh sepeda ke parlemen (Swedia) dan duduk di sana" katanya.

"Hari pertama, saya duduk sendiri dari jam 8.30 pagi sampai 3 sore. Kemudian di hari kedua beberapa orang mulai bergabung. Setelah itu, ada semakin banyak orang bersamaku sepanjang waktu," imbuhnya.

Aksinya memukau banyak remaja dan anak muda lain yang kecewa pada orang dewasa karena dirasa lamban menangani perubahan iklim.

Dan kini aksi mogok sekolah telah dilakukan ribuan remaja di lebih dari 100 negara. Melansir AFP, para aktivis melihat aksi ini sebagai momen bersejarah yang lahir dari akar rumput untuk menekan para pemimpin dunia berbuat lebih banyak untuk lingkungan.

Kepada The Guardian Thunberg mengaku sempat depresi ketika masih anak-anak karena perubahan iklim dan kurangnya aksi nyata.

Dia sempat menceritakan ke orangtuanya tentang masalah ini dan meminta mereka mendengarkan dengan serius soal dampak perubahan iklim. Setelah itu Thunberg sadar, dia dapat melakukan hal serupa kepada lebih banyak orang.

"Saat itulah saya agak tersadar bahwa saya bisa melakukan perubahan. Dan bagaimana saya keluar dari depresi saya, saya berpikir saya hanya membuang waku bila larut dalam persaan seperti itu, padahal saya bisa melakukan banyak hal baik dalam hidup saya. Saya berusaha untuk melakukan itu sampai sekarang," ujar Thunberg.

Meski Thunberg telah menjadi pelopor protes lingkungan terbesar sepanjang sejarah dunia, tapi dia tidak mau berhenti di situ. Dia memilih fokus pada tujuan awal untuk membuat pemerintah melakukan aksi nyata dan sesegera mungkin.

Baca juga: Nasib Perubahan Iklim pada Debat Capres

Melansir The Scienties, Thunberg merasa frustasi dengan beberapa respon yang diberikan terhadap aksi pemogokannya dan ribuan remaja lain. Banyak dari mereka yang memandang sebelah mata dan tidak melakukan apapun.

"Mereka berkomentar tentang usia, penampilan dan sebagainya. Tapi emisi masih terus naik, itu yang terpenting tapi tidak diperhatikan," tukasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau