Nyatanya, kata Ramadhani, peraturan itu tidak dipahami masyarakat dengan baik dan banyak juga tidak diketahui oleh anggota Persatuan Menembak Indonesia (Perbakin) dan polisi, terutama yang berada di daerah.
Kepemilikan senjata api sebagai ancaman nyata orangutan
74 air rifle bullets??? Hope in critical @socp_tweets #terorsenapanangin pic.twitter.com/W4Msz1ctMv
— Orangutan COP (@orangutan_COP) March 12, 2019
Sementara itu, menurut pandangan Manajer Area Konservasi dari WWF Indonesia, Albertus Tiju, kepemilikan senjata api erat kaitannya dengan ancaman populasi orangutan.
"Kita memang melihat ancaman langsung itu ada dua hal. Satu terhadap habitat, kedua terhadap populasi. Dan ancaman terhadap populasi ini, aspek perburuan itu memang menjadi hal yang sangat serius."
"Dan memang benar, salah satu hal yang membuat kondisi ini adalah kepemilikan senjata api yang sebenarnya harus mendapatkan pengendalian dan pengawasan, terutama dari lembaga yang memiliki kewenangan untuk itu," jelasnya.
Perbakin, kata Albertus, seharusnya bisa mendukung pihak kepolisan dalam konteks kepemilikan senjata api.
Hukuman belum bisa membuat jera
COP mencatat ada 51 kasus penembakan orangutan di Sumatra dan Kalimantan sejak tahun 2006 hingga sekarang. Dari 51 kasus itu, ada 880 peluru senapan angin yang bersarang di tubuh orang utan.
Di Aceh sendiri, menurut data BKSDA Aceh, pada 2010-2019 ada 4 kasus penembakan orangutan di Aceh Timur, Aceh Tenggara, Aceh Selatan dan yang terakhir, Sabulussalam.
Di sisi lain, penindakan kasus kekerasan terhadap satwa dilindungi belum ada yang berujung pada vonis hukuman maksimal.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, aturan yang terkait dengan pelanggaran membunuh, memiliki atau memperdagangkan atau mengonsumsi satwa liar dan dilindungi, jelas tertulis bahwa hukuman maksimalnya adalah 5 tahun dan denda Rp100 juta.
"Belum ada satu kasus tunggal-pun yang bisa membuat para pelaku itu berada pada kondisi hukuman maksimal. Nah itu yang membuat semua orang memandang sebelah mata," ujar Albertus.
"Ketika itu bisa dilakukan, seharusnya para pelaku atau calon pelaku itu bisa berpikir 2-3 kali sebelum melakukan tindakan," sambungnya.
Terkhusus kasus di Sabulussalam, Ramadhani dari COP mengatakan, Kepolisian Aceh harus bisa mengungkap hal ini.
"Karena apa? Berkaca dari kasus orangutan yang ditembak di Kalimantan, yang dibuang di sungai kemudian hanyut, itu pelaku bisa ditemukan. Dalam artian TKP berubah. Nah sedangkan ini TKP tidak berubah dan kami yakin banyak saksi yang bisa dimintai keterangan."