KOMPAS.com - Awal pekan ini, orangutan bernama Hope ditemukan memiliki 74 peluru senapan angin yang bersarang di tubuhnya. Kejadian tragis ini membuat beberapa pihak mendesak pengawasan yang lebih ketat terhadap kepemilikan senjata.
Hope diduga menjadi korban penembakan di wilayah Sabulussalam, Aceh.
Pada 8 Maret 2019, tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh menerima laporan warga tentang adanya orangutan yang terluka. Keesokan harinya tim mereka memeriksa lokasi, menemukan orangutan itu, dan mengevakuasinya.
Hope dilaporkan berada dalam kondisi memprihatinkan saat ditemukan petugas.
Baca juga: Induk Orangutan Hope Diberondong 74 Tembakan Senapan Angin, Ini 5 Faktanya
"Banyak luka bacok di tubuhnya, mata sebelah kanan buta," kata Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo.
"Anaknya juga malnutrisi. Dan kemudian anaknya ketika kami bawa ke pusat rehabilitasi, mati di tengah jalan," sambung Sapto kepada ABC ketika dihubungi via telepon (14/3/2019).
Yang mengejutkan setelah dilakukan pemeriksaan, sebut Sapto, ada 74 butir peluru senapan angin yang bersarang di tubuh Hope. Tak hanya itu, orangutan ini juga menderita patah tulang di tiga bagian tubuhnya. Bahkan, salah satu patahan itu mencuat keluar, ujar Sapto.
"Hope ditemukan di kebun sawit warga. Ia terisolasi di kebun. Warga itu kan menganggap dia itu hama, jadi ditembaki. Ditambah lagi mereka melihat anak Hope, masih bayi, sehingga ada oknum warga yang juga ingin mengambil anak tersebut," ujar Sapto.
"Kan kalau anak (orangutan) itu sangat banyak yang ingin memelihara," imbuhnya.
Peraturan tentang kepemilikan senjata api termasuk senapan
Akibat insiden ini sejumlah pihak meminta agar penerapan regulasi kepemilikan senjata api olahraga, yang di dalamnya termasuk senapan angin, diperketat.
Menurut Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2012, penggunaan senjata api olahraga di Indonesia digunakan untuk kepentingan olahraga menembak sasaran atau target; menembak reaksi; dan berburu.
Aturan tersebut menurut Manajer Kampanye Pusat Perlindungan Orangutan (COP), Ramadhani, sebenarnya sudah mengatur penggunaan senapan dengan jelas.
"Penggunaannya adalah simpan di rumah, ketika ingin dipakai datanglah ke arena tembak, kemudian tembaklah yang bulat-bulat itu. Selesai pakai pulang, sudah."
"Jadi Peraturan Kapolri itu sangat gamblang dan bahasa Indonesia-nya pun hanya boleh dipergunakan di arena menembak," katanya kepada ABC (14/3/2019).
Nyatanya, kata Ramadhani, peraturan itu tidak dipahami masyarakat dengan baik dan banyak juga tidak diketahui oleh anggota Persatuan Menembak Indonesia (Perbakin) dan polisi, terutama yang berada di daerah.
Kepemilikan senjata api sebagai ancaman nyata orangutan
74 air rifle bullets??? Hope in critical @socp_tweets #terorsenapanangin pic.twitter.com/W4Msz1ctMv
— Orangutan COP (@orangutan_COP) March 12, 2019
Sementara itu, menurut pandangan Manajer Area Konservasi dari WWF Indonesia, Albertus Tiju, kepemilikan senjata api erat kaitannya dengan ancaman populasi orangutan.
"Kita memang melihat ancaman langsung itu ada dua hal. Satu terhadap habitat, kedua terhadap populasi. Dan ancaman terhadap populasi ini, aspek perburuan itu memang menjadi hal yang sangat serius."
"Dan memang benar, salah satu hal yang membuat kondisi ini adalah kepemilikan senjata api yang sebenarnya harus mendapatkan pengendalian dan pengawasan, terutama dari lembaga yang memiliki kewenangan untuk itu," jelasnya.
Perbakin, kata Albertus, seharusnya bisa mendukung pihak kepolisan dalam konteks kepemilikan senjata api.
Hukuman belum bisa membuat jera
COP mencatat ada 51 kasus penembakan orangutan di Sumatra dan Kalimantan sejak tahun 2006 hingga sekarang. Dari 51 kasus itu, ada 880 peluru senapan angin yang bersarang di tubuh orang utan.
Di Aceh sendiri, menurut data BKSDA Aceh, pada 2010-2019 ada 4 kasus penembakan orangutan di Aceh Timur, Aceh Tenggara, Aceh Selatan dan yang terakhir, Sabulussalam.
Di sisi lain, penindakan kasus kekerasan terhadap satwa dilindungi belum ada yang berujung pada vonis hukuman maksimal.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, aturan yang terkait dengan pelanggaran membunuh, memiliki atau memperdagangkan atau mengonsumsi satwa liar dan dilindungi, jelas tertulis bahwa hukuman maksimalnya adalah 5 tahun dan denda Rp100 juta.
"Belum ada satu kasus tunggal-pun yang bisa membuat para pelaku itu berada pada kondisi hukuman maksimal. Nah itu yang membuat semua orang memandang sebelah mata," ujar Albertus.
"Ketika itu bisa dilakukan, seharusnya para pelaku atau calon pelaku itu bisa berpikir 2-3 kali sebelum melakukan tindakan," sambungnya.
Terkhusus kasus di Sabulussalam, Ramadhani dari COP mengatakan, Kepolisian Aceh harus bisa mengungkap hal ini.
"Karena apa? Berkaca dari kasus orangutan yang ditembak di Kalimantan, yang dibuang di sungai kemudian hanyut, itu pelaku bisa ditemukan. Dalam artian TKP berubah. Nah sedangkan ini TKP tidak berubah dan kami yakin banyak saksi yang bisa dimintai keterangan."
"Ini hanya soal kemauan," imbuhnya.
Baca juga: Jerat Tak Cuma Ancam Harimau, Bisa Musnahkan Semua Satwa di Sumatera
Kondisi terkini Hope
Orangutan Hope kini masih berada dalam perawatan intensif dan belum melewati masa kritis.
Meski demikian, pada hari Rabu (13/3/2019) malam, Kepala BKSDA Aceh mendapat laporan bahwa Hope telah merespon dokter.
"Hope sudah mulai ada nafsu makan kemudian juga mulai ada upaya untuk memanjat. Artinya sudah ada respon cukup bagus," papar Sapto Aji, Kepala BKSDA Aceh.
Tim dokter saat ini tengah membahas penanganan untuk patah tulang yang juga dialami Hope.
"Doakan saja, minta doa masyarakat agar Hope cepat pulih dan segera dikembalikan ke alam bebas," ujar Sapto.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.