KOMPAS.com - Sepuluh peralatan emas yang khusus digunakan untuk penobatan Raja tersusun rapi di Bangsal Pagelaran Keraton Yogyakarta, tepat setelah pintu masuk.
Apakah ada penobatan Raja di Keraton? Tentu saja tidak. Itu adalah replika peralatan penobatan, sementara yang asli disimpan.
Kesepuluh benda berwarna emas itu merupakan simbol dari sifat yang harus dimiliki seorang Raja ketika berkuasa.
Misalnya patung bebek emas yang disebut Banyak berarti perhatian, kemudian Dalang dengan simbol kijang menggambarkan kecerdasan, Sawung dalam wujud ayam jago artinya wibawa, dan Galing berwujud merak merupakan simbol keberanian.
Baca juga: Pulangnya 75 Manuskrip Kuno Keraton Yogyakarta yang Dirampas Inggris
"Semuanya ini adalah penggambaran sifat Raja. Kalau Capuri itu tempat siri, artinya segala ucap Raja harus dituruti. Kalau Pengojokan itu tempat meludah dan membuang siri, artinya apa yang sudah dikatakan Raja tidak bisa ditarik kembali," kata seorang ibu paruh baya pegawai Keraton menjelaskan kepada Kompas.com sambil menunjuk dua benda yang ada di sisi kanan dan kiri kursi penobatan Raja yang disebut Dampar Kencana.
Empat benda lainnya adalah Kacu Mas sebagai simbol penghapus yang buruk, Kutuk atau tempat perhiasan sebagai lambang kemakmuran, Hardowalika berwujud naga sebagai lambang kekuatan, dan Kandil dalam wujud lentera sebagai lambang penerangan.
Kesepuluh pelambang sifat Raja itu dipamerkan sebagai bagian dari peringatan 30 tahun bertakhtanya Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Selain sepuluh peralatan penobatan Raja, ruangan itu juga dipenuhi oleh puluhan naskah kuno yang ditulis ratusan tahun lalu.
Mulai dari babad atau kisah sejarah di masa lalu, serat, dan catatan warna-warni dari perpustakaan keraton, Kapustakan KHP Widyabudaya.
Sementara teks-teks bedhaya, srimpi, dan pethilan beksan, serta cathetan gendhing berasal dari koleksi Kapustakan KHP Kridhamardawa. Beberapa koleksi dari Bebadan Museum Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat juga turut dipamerkan untuk mendukung visualisasi naskah.
Ini adalah kali pertama naskah-naskah asli yang ditulis dengan aksara Jawa tersebut dapat dilihat langsung oleh khalayak luas.
Seperti dimuat dalam situs resmi keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X berharap masyarakat luas dapat memaknai sejarah penting di masa lalu guna membangun peradaban yang lebih bermartabat, menyambut terciptanya keraton milenial untuk generasi bangsa dan semesta.
Perjalanan para raja
Babad paling awal yang dipamerkan adalah Babad Ngayogyakarta Hamengku Buwono (HB) I sampai HB III yang tulisan halaman terakhir ditulis pada 12 Maret 1817.
Babad ini berkisah tentang sejarah Yogyakarta yang dimulai dengan pembagian wilayah Solo sesuai perjanjian Giyanti tahun 1755, dan kilas balik tentang Sri Sultan HB I (1755-1792).