KOMPAS.com - Tak adanya perawatan yang tepat dan obat yang salah mengakibatkan banyaknya korban yang sebenarnya dapat dicegah.
Namun di sebagian tempat di dunia ini, risiko gigitan ular dihadapi setiap hari, yang bisa berakibat fatal.
Para korban sering kali tidak mendapatkan pengobatan pada waktunya. Dan pada sejumlah kasus lain, mereka diberi obat untuk luka akibat gigitan jenis ular yang berbeda sehingga tak bisa sembuh.
Sekitar 11.000 orang diperkirakan meninggal setiap bulan akibat gigitan ular berbisa, jumlah yang sama korban meninggal antara tahun 2014-2016 akibat krisis Ebola di Afrika Barat.
Sekitar 450.000 orang setiap tahun diperkirakan mengalami luka-luka fatal yang menyebabkan ambutasi atau cacat permanen.
Skala masalah ini menyebabkan gigitan ular menjadi priortas yang terbengkalai dalam penyakit tropis.
Baca juga: Dari Mematikan hingga Tak Berbahaya, Kenapa Bisa Ular Berbeda-beda?
Akses ke pusat kesehatan
Di negara-negara maju seperti Eropa, Australia dan Amerika Utara- gigitan ular hanya menimbulkan sejumlah korban, walaupun banyak spesies ular berbisa.
Sementara di sub-Sahara Afrika, jumlah kematian akibat gigitan ular mencapai 32.000 orang, dan jumlahnya dua kali lipat di Asia Selatan.
Komunitas di pedesaan di daerah tropis selalu berisiko menghadapi gigitan ular, apakah di ladang, saat bepergian pada dini hari atau saat tidur di rumah.
Petani pria muda adalah yang paling berisiko dan demikian pula dengan anak-anak.
Walaupun lokasi di pedesaan merupakan risiko, fasilitas kesehatan di sejumlah tempat di Afrika dan Asia yang kurang lengkap juga berperan.
Pelatihan medis, kendaraan untuk situasi darurat dan obat yang terjangkau sering kali menjadi penyebab tak tertolongnya korban.
Obat yang mahal
Gigitan ular berbisa biasanya menyebabkan tiga gejala yang mematikan: pendarahan berat, kelumpuhan dan rusaknya organ yang tak dapat diobati.