KOMPAS.com — Penduduk Tanjung Belit, kabupaten Kampar, Riau, Sumatera, tiba-tiba mendengar teriakan harimau. Begitu menemukan asal suara, mereka langsung membawa harimau yang sepertinya baru saja meloloskan diri dari perangkap itu ke desanya.
Sayang, nasib baik tidak menyertai harimau yang sedang bunting itu. Kawat logam yang menjerat bagian paha dan perutnya terlalu ketat sehingga membuatnya tewas sebelum petugas terkait tiba di lokasi. Nasib yang sama pun menimpa dua bayinya yang masih ada di dalam kandungan.
Kasus harimau sumatera ini menjadi contoh lain maraknya perburuan satwa yang merajalela di Indonesia. Kini, jumlah populasi harimau sumatera pun kian menurun, mungkin tak mencapai 400 ekor.
Baca juga: Hanya Tersisa 6 Jenis Harimau di Dunia, Salah Satunya di Indonesia
"Ini melibatkan banyak uang," kata Budi (bukan nama sebenarnya), seorang mantan pemburu satwa liar.
Setelah 30 tahun berburu harimau, Budi kini turut membantu kelompok konservasi WWF dan berbalik memburu para pemburu.
Di tahun-tahun sebelumnya Budi mengaku telah menangkap dan membunuh setidaknya 30 ekor harimau.
"Saya sering tertangkap, tetapi selalu aman dengan petugas. Saya tak pernah ke pengadilan karena diselesaikan di tempat," katanya kepada jurnalis ABC, Anne Barker.
Dahulu, harimau pertama yang dijual Budi laku Rp 850.000. Namun, kini harganya semakin mahal.
"Harimau terakhir yang sempat saya jual laku Rp 9.500.000," tambahnya.
Deforestasi berdampak pada harimau
Deforestasi dan kegiatan pembangunan sangat berdampak langsung dalam mengurangi habitat harimau di Sumatera.
Hutan rimba digunduli untuk pembukaan lahan perkebunan.
Menurut hitungan WWF, 49 persen hutan asli sumatera telah hilang sejak tahun 2000 akibat pembukaan jalan bagi perkebunan kelapa sawit, karet, dan kertas.
Pulau terbesar keenam di dunia ini mengaloami perubahan lanskap alam menjadi produsen komoditas global dengan nilai miliaran dolar.
Tercatat, antara tahun 2000 sampai 2015 rata-rata 1,82 hektar hutan ditebang setiap jam.