Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nelayan Indonesia Masih Menjadi Budak di Tanah Air Sendiri

Kompas.com - 01/11/2018, 19:05 WIB
Shierine Wangsa Wibawa

Penulis

NUSA DUA, KOMPAS.com - Ketika berbicara soal perbudakan di industri perikanan yang melibatkan orang Indonesia, banyak orang menuding ke kapal-kapal asing dan luar negeri.

Akan tetapi, penelitian yang dilakukan oleh Conventry University, Universitas Indonesia, IOM Indonesia, dan Issara Institute dari Thailand berkata lain. Perbudakan modern ternyata juga terjadi dalam industri perikanan domestik Indonesia.

Dalam rangka Our Ocean Conference ke-5 yang diadakan di Nusa Dua, Bali pada Senin (29/10/2018), sebuah diskusi diadakan untuk membahas temuan ini. Diskusi tersebut melibatkan peneliti utama Dr Katharine Jones dari Conventry University, Dr Dedi Supriadi Adhuri dari LIPI, Yunus Husein dari Satgas 115, dan Arifsyah M Nasution dari Greenpeace.

Berdasarkan wawancara dengan para nelayan perikanan tangkap dan pekerja pabrik-pabrik pengalengan di Indonesia, Jones menemukan empat permasalahan besar yang merupakan bentuk dari perbudakan modern.

Baca juga: Our Ocean Conference Lahirkan 287 Komitmen Bernilai 10 Miliar Dollar

Pertama adalah masalah upah. Para nelayan sering kali tidak mendapatkan upah mereka yang seharusnya karena adanya sistem bagi hasil.

"Sebagai contoh adalah kalau kapten mendapat Rp 1 juta, Rp 400.000 diberikan ke perusahaan, Rp 200.000 untuk perawatan kapal. Sisanya Rp 200.000 dibagi ke nelayan yang ikut, padahal jumlahnya bisa 20 orang dan pembagiannya tergantung kaptennya," ujarnya.

Hasil penyelidikan Jones juga mengungkapkan kondisi kapal yang tidak manusiawi dan tidak adanya persetujuan tertulis.

Namun, masalah terbesar ada pada proses rekruitmen yang sering kali bersifat informal dan melalui calo.

Jones berkata bahwa para nelayan biasanya direkrut untuk dibawa ke tempat yang jauh. Para nelayan yang ditemukannya di Benoa, misalnya. Kebanyakan dari mereka berasal dari Tegal dan Nusa Tenggara Timur.

Baca juga: John Kerry Ungkap Pil Pahit Perubahan Iklim dan Penawarnya

Untuk merekrut mereka, perusahaan memberi kasbon yang mencapai Rp 10 juta, tetapi Rp 6 juta-nya ditahan oleh calo agar nelayan menyelesaikan kontraknya. Akibatnya, para nelayan tidak bisa keluar dari pekerjaannya atau menegosiasikan hak-haknya.

Temuan Jones ini disetujui oleh Dedi yang menciptakan istilah "Musim Janda" untuk menggambarkan bagaimana para nelayan tetap melaut meskipun ombaknya besar.

"Mengapa mereka merisikokan hidupnya? Karena ada ikatan hutang," ujarnya.

Dedi juga menemukan bahwa praktik penyelundupan manusia sudah merajalela di industri perikanan domestik. Para nelayan dari Indonesia tengah dan Indonesia barat dibawa ke Indonesia timur tanpa pemberitahuan sebelumnya.

Di samping para nelayan, Jones juga mewawancarai para perusahaan ritel global yang mendapatkan suplai ikannya dari Indonesia.

Hasilnya, pemahaman mereka mengenai kondisi yang dihadapi oleh para pekerja industri perikanan sangatlah rendah karena hanya mendapat laporan dari perusahaan mitra tanpa mendengar langsung dari para pekerja.

Baca juga: 3 Usulan Pangeran Charles untuk Selamatkan Lautan Dunia

Mencari solusinya

Jones berkata bahwa pada saat ini, sudah ada upaya untuk menerapkan tahap-tahap awal penelusuran ikan menggunakan teknologi. Lalu, edukasi mengenai rekrutmen yang etis juga sudah dilakukan, meskipun masih kesulitan untuk menjangkau level dasar.

Dia juga mengusulkan Indonesia untuk belajar dari industri perikanan Thailand yang sudah lebih dulu mengalami skandal ketenagakerjaan.

Di negara tersebut, sebagai upaya untuk menghentikan perbudakan modern, ada program monitoring dengan menggunakan aplikasi pada telepon genggam. Aplikasi ini mengumpulkan respons dari para pekerja untuk mengidentifikasikan perbudakan modern.

Menanggapi usulan Jones, Yunus berkata bahwa sudah ada beberapa upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah perbudakan modern di industri perikanan Indonesia.

Upaya ini seperti memberlakukan moratorium terhadap kapal ex asing dan repatriasi untuk pekerja-pekerja asing ilegal yang ditemukan di perairan nasional.

Baca juga: Hadir di Our Ocean Conference Bali, John Kerry Sentil Trump dan China

Selain itu, pemerintah juga mengharuskan adanya perjanjian kerja laut tertulis yang ditandatangi oleh syahbandar sebelum kapal bisa menangkap ikan, dan sertifikasi keahlian bagi para nelayan. Sayangnya, kedua hal ini masih belum bisa berjalan karena belum ada penerapan sanksi yang tegas.

Lalu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga sedang bekerja sama dengan IOM untuk menciptakan aplikasi berisi survei pendek untuk mendeteksi potensi pelanggaran pekerja. Setelah dikumpulkan, data ini akan diberikan ke KKP untuk ditindaklanjuti.

Menanggapi upaya pemerintah, Dedi berkata bahwa pada saat ini, upaya untuk menghentikan perbudakan modern baru pada skala besar, sementara yang skala menengah dan kecil sering kali tidak terdeteksi.

"Kebijakannya masih bersifat atas ke bawah. Kita perlu bekerja sama dengan masyarakat. Saya percaya bahwa mereka juga punya kekuatan," katanya.

Ariefsyah juga sependapat. Dia berkata bahwa isu lingkungan juga terikat dengan isu sosial. Para nelayan ini terjebak dalam perbudakan modern karena tingkat edukasi yang rendah.

Baca juga: Rencana Moratorium Tambang dan Sawit, Jangan KayakAngin Surga

"Kita perlu mengombinasikannya sebagai masalah mutidimensi yang membutuhkan solusi mutisektor," ujarnya.

Menurut Ariefsyah, masalah ini tidak bisa diselesaikan oleh masing-masing kementerian. Presiden selaku kepala negara juga harus bergerak untuk memimpin perubahan dan meningkatkan kolaborasi.

Yunus setuju bahwa pendekatan multisektor sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah ini. Pasalnya, masalah ini sangat kompleks dan mengandung banyak kepentingan.

Secara blak-blakan, dia berkata bahwa di satu sisi, tenaga kerja-tenaga kerja ini membutuhkan pekerjaan, tetapi tidak punya keahlian sehingga rentan dieksploitasi. Di sisi lain, ada oknum-oknum yang memanfaatkan kerentanan mereka dan memperjualbelikan tenaga kerja dari satu kapal ke kapal lain. Para pengusaha pun kurang peduli terhadap para nelayan, sedangkan aparat daerah sering lalai dalam menegakkan aturan.

Selain penegakan hukum dan penerapan sanksi, penyelesaian masalah ini juga membutuhkan peran dari berbagai agensi. Yunus berharap agar asosiasi pengusaha lebih aktif dalam mencegah anggotanya melakukan pelanggaran. Sementara itu, agensi pemerintah sendiri diharapkan untuk mengesampingkan ego sektoralnya dan menjalin kerja sama satu sama lain.

Proyek penelitian yang dilaksanakan oleh Jones dan kolega telah berlangsung sejak Desember 2017 dan berakhir pada April 2019. Tujuan dari proyek ini adalah untuk menghasilkan rekomendasi berdasarkan bukti para buyer dan supplier yang mendapatkan ikannya dari Indonesia, serta pemerintah Indonesia yang telah memprioritaskan isu ini. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com