Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Awkarin dan Instagram, Benarkah Efek Media Sosial Seperti Narkoba?

Kompas.com - 25/10/2018, 17:00 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

"Tiba-tiba aku sadar, aku ngepost di media sosial cuma karena engagement. Entah kenapa aku seneng ketika ngepost dapat likes yang banyak, aku dapat comments yang banyak dan baik-baik. Tapi aku ngerasa sampai di titik, apa yang aku rasain itu toxic," imbuhnya.

"Ketika aku ngepost dan aku dapat likes yang enggak terlalu banyak, I get sad, I get depressed, I get stressed, dan juga enggak happy. Gue jadi overthinking apa yang harus diperbaiki. Dan untungnya aku cepat sadar, this lead me to another depression. Ketika ekspektasi aku enggak tercapai, aku bisa depresi lagi," tutupnya.

Menurut dia, media sosial memiliki pola yang sama seperti narkoba, di mana bisa membuat penggunanya bahagia. Ketika mendapat banyak reaksi atau perhatian, saraf di otak mengeluarkan dopamine dan akhirnya membuat bahagia.

Kata psikolog

Berkaitan dengan media sosial dan pengaruhnya, Kompas.com meminta tanggapan dari dua psikolog, yakni Kasandra A. Putranto, seorang psikolog klinis, dan Linda Setiawati dari Personal Growth.

Kasandra dan Linda sepakat bahwa media sosial dapat memberi dampak besar, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Terlebih saat ini, hampir semua orang menggunakan handphone dan gadget ini telah menjadi suatu kebutuhan.

"Media sosial akan merefleksikan kualitas psikologis seseorang dan sebaliknya, kualitas psikologis seseorang akan sangat mempengaruhi perilakunya dalam beraktivitas di media sosial," kata Kasandra, Rabu (24/10/2018).

"Lebih lanjut lagi, berdasarkan teori Primming, segala hal dari media sosial bisa diyakini kebenarannya, karena memang media membentuk pengetahuan dan sikap seseorang," imbuhnya.

Linda menambahkan, munculnya media sosial dapat memberikan dampak positif dan negatif, tergantung bagaimana pengguna memanfaatkannya. Bisa saja kita menggunakan media sosial sebagai sarana belajar dan berinteraksi dengan orang lain, namun di sisi lain bisa berdampak negatif ketika kita turut serta menyebarkan hoax melalui media sosial.

"media sosial dapat berdampak bagi diri sendiri maupun dalam hal hubungan sosial dengan orang lain. Hubungan sosial dengan orang lain dapat terganggu ketika seseorang lebih mementingkan hubungan di media sosial dibandingkan hubungan tatap muka langsung dengan orang lain, termasuk hubungan dengan orang terdekat," jelas Linda, Kamis (25/10/2018).

Kecanduan media sosial

Orang-orang yang sangat ketergantungan menggunakan gadget dan media sosial, terutama dengan intensitas waktu dan kegiatan yang tinggi, juga sangat mungkin membuat kecanduan.

Ciri-ciri individu yang mengalami kecanduan media sosial antara lain mereka mulai menghabiskan hampir sebagian besar waktunya untuk menggunakan media sosial, merasa cemas ketika tidak menggunakan media sosial, dan bahkan sampai mengganggu aspek kehidupan lainnya.

"Kecanduan pasti mempengaruhi kesehatan mental seseorang. Bisa saja kecanduan media sosial membuat seseorang tidak bisa berfungsi maksimal, baik aktivitas diri sendiri seperti menjadi lupa mandi atau makan karena menghabiskan waktu untuk bermain media sosial, dan performa kerja menjadi tidak optimal akibat penggunaan media sosial. Kondisi tersebut menjadi indikasi kesehatan mental individu terganggu," kata Linda.

Linda pun mengatakan, setiap orang pada dasarnya memiliki kebutuhan untuk diapresiasi maupun mendapat pengakuan. Kalau dulu apresiasi mungkin diberikan lewat penghargaan dalam sebuah kompetisi, di masa modern ini orang berlomba untuk mendapat banyak likes di media sosial. Artinya, hal ini tidak hanya dialami oleh Awkarin.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau