SELAMA beberapa waktu ini, bencana tak henti-henti terjadi di beberapa wilayah negeri ini. Mulai dari jembatan atau bangunan roboh, banjir, tanah longsor, erupsi gunung berapi, dan yang terbaru: gempa bumi, disusul dengan tsunami dan likuefaksi.
Jumlah korban yang cukup besar menunjukkan ketidaksiapan masyarakat dan institusi terkait dalam menghadapi munculnya bencana. Sistem-sistem peringatan dini sebenarnya telah dipasang dan digunakan oleh berbagai instansi terkait seperti BMKG.
Perangkat peringatan dini terjadinya tsunami, sebagai contoh, telah dipasang di berbagai daerah di Indonesia termasuk Palu, setelah terjadinya tsunami besar yang melanda Aceh dan Sumatera.
Namun, akurasinya tampaknya perlu ditingkatkan. Sementara peringatan dini untuk bencana lain seperti likuefaksi sepertinya belum ada.
Pada kejadian tsunami di Palu, peringatan terjadinya tsunami telah dikeluarkan oleh BMKG pada pukul 18.07, sesaat setelah terjadinya gempa pada pukul 18.00. Namun, peringatan ditarik kembali pada pukul 18.36.
Sementara ketentuan internasional menyatakan bahwa peringatan tsunami harus ditahan selama minimal 2 jam. Hal ini bisa saja dianggap sebagai sebuah kesalahan.
Baca juga: Terungkap yang Sebenarnya, Ini Alasan BMKG Akhiri Peringatan Tsunami
Dari satu sisi, kesalahan ini tidaklah berarti mengingat tsunami justru terjadi pada 18.25 di saat peringatan belum dibatalkan.
Namun dari sisi lain, BMKG tampaknya mendapatkan data yang kurang akurat, sehingga mengambil keputusan untuk menarik peringatan. Bayangkan jika penarikan dilakukan sebelum terjadinya bencana.
Beberapa pendapat berbeda terkait hal ini kemudian bermunculan. BNPB menyatakan bahwa peringatan dini tidak bekerja, karena sensor-sensor pelampung yang dipasang di laut tidak terpelihara lagi sejak tahun 2012.
Sementara, Louise Comfort, seorang ahli manajemen bencana dari University of Pittsburgh, menyatakan bahwa BMKG saat ini hanya mengandalkan seismograf, alat penentuan posisi, dan pengukur pasang surut air laut untuk mendeteksi terjadinya tsunami.
Perangkat tersebut dianggap tidak memadai karena tidak dapat mengamati perubahan-perubahan yang terjadi di bawah laut.
Comfort sekiranya akan terlibat dalam pembangunan sensor yang dipasang pada dasar laut, yang sementara ini ditunda karena ketidaktersediaan dana. Sensor ini dipandang lebih baik dibanding sensor apung, karena akan lebih teliti dalam mengamati perubahan tekanan di dasar laut, dan yang jelas, kecil kemungkinan tertabrak oleh kapal.
Bertolak belakang dengan pendapat tersebut, Jorn Lauterjung, ahli geofisika dari GFZ Jerman yang pernah terlibat dalam pembangunan sistem di tahun 2005, menyatakan bahwa sensor apung yang mengalami kerusakan dan tidak terawat tersebut, tidak lagi digunakan sebagai alat deteksi.
Saat ini, deteksi perubahan vertikal di dasar laut dapat dilakukan melalui penggunaan stasiun GPS yang dipasang di darat.
Baca juga: Alat Deteksi Tsunami Buoy Selalu Dicuri, BPPT Tawarkan Alternatif Ini
Dengan mengamati berbagai pendapat di atas, tampak bahwa kita kurang memiliki usaha untuk menentukan sistem peringatan dini kita secara mandiri. Sistem-sistem yang ada masih ditentukan oleh pihak-pihak luar negeri dan tidak terintegrasi antara satu dan lainnya.