Namun, banyaknya korban jiwa dalam bencana ekstrem bukan hal yang harusnya dianggap tidak bisa dihindari. Sistem peringatan dini dapat berperan dalam mencegah korban jatuh, begitu juga dengan solusi menggunakan budaya.
Contohnya di Simeulue, sebuah pulau di Indonesia yang juga dilanda tsunami 2004. Sementara provinsi Aceh adalah salah satu daerah terparah, sangat sedikit di pulau tersebut orang tewas dibandingkan dengan komunitas lain di wilayah.
Hal ini, sebagian, karena tradisi lagu pengantar tidur yang bercerita tentang “smong” (ombak besar yang menerjang daratan setelah gempa).
Nenek-nenek menyanyikan lagi pengantar tidur ini kepada anak-anak untuk memberitahu mereka agar lari ke tempat yang lebih tinggi ketika gempa terjadi–dan ini persis apa yang dilakukan banyak orang, karena tindakan yang tepat telah menjadi bagian dari budaya bencana mereka.
Tentu saja, globalisasi berarti bahwa perubahan budaya semakin cepat di Indonesia, tapi terkadang solusi yang paling jelas terukur, seperti smong, juga paling sederhana.
Baca juga: Kini Terungkap, Tsunami Palu Menerjang Hanya 8 Menit Setelah Gempa!
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memiliki sebuah aplikasi telepon yang mengirimkan peringatan cepat tentang aktivitas seismik dan potensi tsunami bagi mereka yang menggunakannya.
Kami menerima peringatan tentang gempa bumi dan potensi tsunami di Sulawesi pada telepon kami sendiri di Bandung, 1.000 kilometer jauhnya di Pulau Jawa. Kami terutama khawatir dan berharap orang-orang akan bereaksi dan menyelamatkan diri secara efisien.
Yang terjadi di Palu menunjukkan bahwa peringatan semacam itu menjadi tidak berguna jika orang tidak sadar, gagal mempercayai atau memahaminya, atau tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Kebutuhan akan kemarahan kolektif
Bahasa bencana di masa pasca-kolonial, secara ironis, sangat Inggris. Pesan utamanya adalah: “Tetap tenang dan lanjutkan (Keep calm and carry on).” Orang-orang diminta untuk bersabar ketika mereka menunggu bantuan dan bantuan.
Orang Indonesia memiliki cadangan ketahanan yang sangat besar dan kekuatan pemulihan yang mengesankan. Hal ini merupakan kabar baik bagi warga setempat untuk membangun kembali. Tapi, meski kemarahan eksplisit bukanlah karakteristik yang menonjol dari orang Indonesia, dalam hal ini kemarahan bisa menjadi produktif.
Indonesia sekarang resmi memasuki periode kampanye pemilihan umum dan sangat penting untuk menekan politikus untuk berinvestasi dengan benar dalam kesiapsiagaan bencana. Presiden Joko Widodo mengunjungi lokasi bencana dua kali dalam ritual yang biasa dilakukan oleh politikus yang berada dalam sorotan internasional.
Hal ini terlihat bagus di televisi dan bisa menarik simpati pemilih, tapi perhatian yang nyata membutuhkan investasi pemikiran, waktu, dan uang. Berbicara dengan rekan-rekan Indonesia, ada kesadaran bahwa kesiapsiagaan bencana perlu dipolitisasi sebagai bagian dari perubahan budaya yang lebih luas.
Baca juga: Ilmuwan: Bentuk Teluk Membuat Tsunami Palu Makin Buruk
Organisasi seperti Global Facility for Disaster Reduction and Recovery (GFDRR) melaporkan bahwa pemerintah Indonesia “menghabiskan AS$300 juta hingga AS$500 juta per tahun untuk rekonstruksi pascabencana” dan “biaya selama bertahun-tahun bencana besar mencapai 0,3% dari PDB nasional dan setinggi 45% dari PDB di tingkat provinsi”.
Anggaran jelas perlu ditingkatkan, tapi dana ini juga harus digunakan untuk melakukan berbagai hal secara berbeda–misalnya, lebih fokus pada menumbuhkan kesadaran masyarakat dengan melibatkan komunitas dan budaya mereka yang ada.