Oleh Gavin Brent Sullivan* dan Saut Sagala**
KOMPAS.com - Penggunaan media sosial tersebar luas di Indonesia, sehingga orang-orang yang sering merekam adegan sehari-hari terkadang secara tidak sengaja menangkap peristiwa yang luar biasa.
Dari berbagai video “viral” gempa bumi dan tsunami di Sulawesi, misalnya, ada satu yang menonjol: video tersebut adalah panggilan putus asa seorang laki-laki pada orang-orang di bawahnya ketika tsunami mendekati Kota Palu–dan kemudian isak tangisnya setelah ombak menghantam daratan.
Kesedihan laki-laki tersebut dapat dirasakan siapa pun secara universal. Kita semua tidak berdaya menghadapi kehancuran yang terjadi dalam beberapa menit. Tapi rekaman seperti ini juga dapat membantu mengubah sikap masyarakat terhadap bencana dan risiko yang ditimbulkannya.
Kenapa hal ini dapat terjadi?
Untuk memahami mengapa bencana terjadi kita harus mencari tahu berbagai penjelasan yang kompleks. Penting untuk memisahkan konsep rantai kausalitas dari isu-isu yang lebih luas soal kesalahan dan tanggung jawab.
Banyak orang di negara maju fokus pada kemungkinan kegagalan sistem peringatan dan penyelidikan “risiko forensik” peristiwa-peristiwa yang mengarah pada kejadian tersebut. Tapi banyak orang juga mungkin sulit memahami bagaimana faktor tersebut bukan perhatian utama banyak orang Indonesia setelah bencana.
Baca juga: Di Balik Tsunami Palu, Kontroversi Ahli Asing dan Pemerintah Mencuat
Untuk sejumlah besar orang Indonesia, pertanyaan tentang mengapa hal-hal seperti itu terjadi tidak dapat dijawab oleh sains, tapi oleh iman. Iman melibatkan kerelaan menerima penderitaan dan keyakinan bahwa malapetaka semacam itu adalah ujian dari Tuhan.
Bagi mereka yang melihatnya dengan cara ini, pertanyaan mengapa bencana terjadi tidak dijawab menggunakan pengukuran dari dasar laut dan rincian teknologi sistem pemantauan. Memisahkan sains dan agama untuk membingkai bencana juga tidak membuat bencana lebih mudah dipahami.
Namun demikian, penting untuk mengakui bahwa tingginya jumlah korban tewas di Palu sebagian karena rendahnya kesiapsiagaan. Banyak orang gagal menyelamatkan diri karena tidak paham secara jelas ancaman yang ditimbulkan oleh tsunami setelah gempa bumi dan betapa mematikannya mereka.
Terlepas dari informasi yang dimiliki orang-orang di Palu setelah gempa bumi dan apakah mereka mempercayainya, jumlah korban akan lebih kecil jika lebih banyak orang yang menjauh dari garis pantai.
Bahwa banyak orang tampaknya gagal melakukan hal ini, mungkin mengejutkan mengingat ingatan kelam dari tsunami dengan gelombang tertinggi pada 2004 yang menghancurkan, sebagian Pulau Sumatra, Indonesia dan tempat lain.
Meskipun demikian, bahkan orang-orang di Banda Aceh–salah satu daerah terparah pada 2004–tetap rentan terhadap tsunami seperti ditunjukkan oleh peristiwa gempa bumi pada 2012.
Baca juga: Pulang Survei, Ahli ITB Ungkap Kejadian 6 Menit Jelang Tsunami Palu
Pada saat itu, alih-alih mengikuti rute evakuasi atau pergi ke penampungan tsunami, orang-orang mencoba pulang dulu atau menjemput anak-anak mereka dari sekolah, sehingga dalam prosesnya menimbulkan kemacetan lalu lintas dan kekacauan.
Tak terhindarkan?
Namun, banyaknya korban jiwa dalam bencana ekstrem bukan hal yang harusnya dianggap tidak bisa dihindari. Sistem peringatan dini dapat berperan dalam mencegah korban jatuh, begitu juga dengan solusi menggunakan budaya.
Contohnya di Simeulue, sebuah pulau di Indonesia yang juga dilanda tsunami 2004. Sementara provinsi Aceh adalah salah satu daerah terparah, sangat sedikit di pulau tersebut orang tewas dibandingkan dengan komunitas lain di wilayah.
Hal ini, sebagian, karena tradisi lagu pengantar tidur yang bercerita tentang “smong” (ombak besar yang menerjang daratan setelah gempa).
Nenek-nenek menyanyikan lagi pengantar tidur ini kepada anak-anak untuk memberitahu mereka agar lari ke tempat yang lebih tinggi ketika gempa terjadi–dan ini persis apa yang dilakukan banyak orang, karena tindakan yang tepat telah menjadi bagian dari budaya bencana mereka.
Tentu saja, globalisasi berarti bahwa perubahan budaya semakin cepat di Indonesia, tapi terkadang solusi yang paling jelas terukur, seperti smong, juga paling sederhana.
Baca juga: Kini Terungkap, Tsunami Palu Menerjang Hanya 8 Menit Setelah Gempa!
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memiliki sebuah aplikasi telepon yang mengirimkan peringatan cepat tentang aktivitas seismik dan potensi tsunami bagi mereka yang menggunakannya.
Kami menerima peringatan tentang gempa bumi dan potensi tsunami di Sulawesi pada telepon kami sendiri di Bandung, 1.000 kilometer jauhnya di Pulau Jawa. Kami terutama khawatir dan berharap orang-orang akan bereaksi dan menyelamatkan diri secara efisien.
Yang terjadi di Palu menunjukkan bahwa peringatan semacam itu menjadi tidak berguna jika orang tidak sadar, gagal mempercayai atau memahaminya, atau tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Kebutuhan akan kemarahan kolektif
Bahasa bencana di masa pasca-kolonial, secara ironis, sangat Inggris. Pesan utamanya adalah: “Tetap tenang dan lanjutkan (Keep calm and carry on).” Orang-orang diminta untuk bersabar ketika mereka menunggu bantuan dan bantuan.
Orang Indonesia memiliki cadangan ketahanan yang sangat besar dan kekuatan pemulihan yang mengesankan. Hal ini merupakan kabar baik bagi warga setempat untuk membangun kembali. Tapi, meski kemarahan eksplisit bukanlah karakteristik yang menonjol dari orang Indonesia, dalam hal ini kemarahan bisa menjadi produktif.
Indonesia sekarang resmi memasuki periode kampanye pemilihan umum dan sangat penting untuk menekan politikus untuk berinvestasi dengan benar dalam kesiapsiagaan bencana. Presiden Joko Widodo mengunjungi lokasi bencana dua kali dalam ritual yang biasa dilakukan oleh politikus yang berada dalam sorotan internasional.
Hal ini terlihat bagus di televisi dan bisa menarik simpati pemilih, tapi perhatian yang nyata membutuhkan investasi pemikiran, waktu, dan uang. Berbicara dengan rekan-rekan Indonesia, ada kesadaran bahwa kesiapsiagaan bencana perlu dipolitisasi sebagai bagian dari perubahan budaya yang lebih luas.
Baca juga: Ilmuwan: Bentuk Teluk Membuat Tsunami Palu Makin Buruk
Organisasi seperti Global Facility for Disaster Reduction and Recovery (GFDRR) melaporkan bahwa pemerintah Indonesia “menghabiskan AS$300 juta hingga AS$500 juta per tahun untuk rekonstruksi pascabencana” dan “biaya selama bertahun-tahun bencana besar mencapai 0,3% dari PDB nasional dan setinggi 45% dari PDB di tingkat provinsi”.
Anggaran jelas perlu ditingkatkan, tapi dana ini juga harus digunakan untuk melakukan berbagai hal secara berbeda–misalnya, lebih fokus pada menumbuhkan kesadaran masyarakat dengan melibatkan komunitas dan budaya mereka yang ada.
Ketika bencana terjadi di tingkat lokal, pemerintah daerah harus mengambil peran sentral dalam hal ini. Program sosialisasi yang ada tidak berfungsi dan bahkan jika semua orang di pantai di Kota Palu memiliki aplikasi BMKG di ponsel mereka, apakah mereka akan tahu persis apa yang harus dilakukan untuk menyelematkan diri dan orang lain?
Mengerti isi pesan
Pemantauan bencana dan sistem peringatan tidak akan berguna jika orang tidak memahami pesan, tidak mempercayai pembawa pesan, dan tidak memiliki tempat yang aman untuk dituju.
Indonesia dapat menjadi pemimpin dunia dalam kesiapsiagaan bencana, tidak harus dengan meniru negara-negara rentan bencana seperti Jepang, tapi dengan memanfaatkan energi kreatif dan kesediaan orang muda khususnya untuk menantang cara-cara lama.
Baca juga: Mengapa Tsunami Palu Bisa Begitu Dahsyat dan Mematikan?
Kuncinya adalah menemukan solusi yang paling bermanfaat dan paling masuk akal bagi komunitas yang harus dilindungi.
Kemarahan dan aksi kolektif di antara orang-orang muda–dan penggunaan media sosial–bisa menjadi langkah pertama untuk mengubah budaya nasional di mana bencana seperti ini tidak hanya dilihat sebagai satu lagi fakta kehidupan yang tak terelakkan, tapi dibicarakan dan direncanakan dengan cara yang benar-benar akan menyelamatkan kehidupan.
*Pengamat Psikologi Sosial dan Politik, Coventry University
**Asisten Profesor di Sekoilah Arsitektur, Perencanaan, dan Kebijakan Pembangunan Institut Teknologi Bandung
Artikel ini pertama kali terbit di The Conversation