KOMPAS.com - 19 hari pasca gempa Donggala dan tsunami Palu yang menewaskan lebih dari 2.000 orang, beberapa peneliti asing mengaku sulit mendapat akses untuk meneliti lokasi bencana. Padahal mereka berburu dengan waktu untuk bisa melakukan investigasi sebelum data dan bukti lenyap.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia mengaku telah mempercepat proses perijinan bagi ahli tsunami asing yang ingin melakukan survei di Indonesia. Mereka pun mengatakan semua syarat dan prosedur yang diterapakn telah dibuat sejak beberapa tahun terakhir.
Salah satu ahli tsunami yang ingin meninjau lokasi bencana secara langsung adalah Philip Liu. Peneliti asal National University of Singapore itu mengaku tak memiliki banyak waktu lagi untuk bisa mengumpulkan data.
Baca juga: Pulang Survei, Ahli ITB Ungkap Kejadian 6 Menit Jelang Tsunami Palu
"Untuk mendapatkan izin, ternyata butuh waktu sampai berbulan-bulan," kata Philip Liu dilansir Nature, Selasa (16/10/2018).
Ribetnya urusan administrasi akhirnya melunturkan niat Liu untuk meneliti jejak gempa dan tsunami di Palu.
Hal serupa juga dialami sekelompok tim yang dipimpin Costas Synolakis, ahli tsunami dari University of Southern California di Los Angeles.
Seminggu pasca tsunami, ia dan timnya langsung menuju Singapura dengan harapan bisa cepat sampai Indonesia.
Harapan itu menipis ketika mereka harus menunggu izin dan visa penelitian.
Synolakis yang sampai saat ini masih ada di Singapura untuk menunggu izin tersebut berkata bahwa ada beberapa syarat yang diajukan Pemerintah Indonesia untuk melakukan penelitian.
Syarat itu antara lain menyerahkan detail rencana survei dan proposal penelitian termasuk bekerja sama dengan orang lokal.
Seingatnya, aturan seperti ini tidak ada sebelumnya dan hal tersebut membuatnya menunda penelitian sampai beberapa minggu ke depan.
"Survei bencana perlu dimobilisasi dalam beberapa hari setelah bencana terjadi, sebelum data yang ingin dicari dan dibutuhkan benar-benar terhapus secara permanen (oleh waktu)," kata Synolakis yang ditinggal beberapa anggota timnya kembali ke Los Angeles.
Menurut Synolakis, fenomena alam yang mengguncang Sulawesi sangat menarik untuk dikaji, khususnya oleh ahli dari Southern California dan Mediterania. Di mana ada patahan tektonik aktif yang dekat dengan pantai dapat memicu tsunami besar yang tak terduga.
Berkaitan dengan masalah tersebut, Sadjuga dari Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti) Indonesia yang berwenang memberi izin penelitian kepada ahli asing berkata bahwa pihaknya telah mengumumkan bagi peneliti asing untuk mengajukan permohonan izin penelitian dan melaporkan temuan penelitian mereka ke mitra lokal Indonesia.
"Ini merupakan prosedur normal di Indonesia," ujar Sadjuga.
Sesuai dengan aturan - yang menurut pemerintah sudah ada sejak lama -, ilmuwan asing yang ingin melakukan penelitian di Indonesia harus mendapat izin dari Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti).
Proses perijinan dan pemberian visa penelitian yang nantinya diteruskan pihak Imigrasi memang membutuhkan waktu cukup lama.
Sadjuga mengatakan bahwa pemerintah Indonesia memahami pentingnya pengumpulan data yang harus berpacu dengan waktu.
"Untuk itu kami sedang mempercepat proses perijinan penelitian," kata Sadjuga.
Sadjuga menjelaskan, biasanya izin penelitian untuk ahli asing membutuhkan waktu kurang lebih 14 sampai 28 hari. Khusus untuk ahli yang ingin meneliti Palu, pihaknya sedang berusaha membereskannya dalam satu minggu.
Baca juga: Tsunami Palu: Pakar Ingatkan Pentingnya Evakuasi Mandiri
Menurut Sadjuga, ada dua tim Internasional yang sudah mengajukan izin penelitian, yakni tim dari Korea Selatan dan Amerika Serikat.
"Kami memberi izin penelitian kepada tim Korea Selatan pada 10 Oktober. Sementara untuk tim AS belum dapat diberikan (izinnya) karena para ahli belum menyelesaikan semua persyaratan," ungkapnya.
Synolakis yang ada dalam tim AS seperti disebutkan Sadjuga mengatakan butuh waktu kurang lebih satu minggu untuk memenuhi semua persyaratan.
Proses lama inilah yang akhirnya membuat beberapa anggota dengan kewajiban lain memutuskan untuk kembali ke negaranya.
Sementara itu, ahli dari Jepang seperti Taro Arikawa dari Chuo University, Tokyo, telah selesai mengumpulkan data bersama tim survei lokal. Arikawa bahkan telah mempresentasikan hasil surveinya pada lokakarya tsunami yang berlangsung pada 10-11 Oktober di Singapura.
Menurut Liu yang mengadakan pertemuan, hingga saat ini masih belum jelas tentang jenis gangguan bawah air yang memicu tsunami. Data pasang surut, ketinggian tsunami, dan waktu yang dilaporkan menunjukkan sumber dekat dengan Teluk Palu.
"Ini bisa jadi karena adanya longsor bawah laut yang dipicu gempa bumi atau bisa juga karena penurunan dasar laut secara mendadak".
"Untuk skenario kedua, tsunami bisa menyebar ke teluk (Palu)," terang Liu.
Arikawa berencana untuk kembali ke Palu minggu ini untuk mengumpulkan lebih banyak data di lokasi-lokasi yang mungkin membantu mengungkap sumber tsunami.
Dalam presentasinya, ia berjanji untuk segera melaporkan dan membagikan temuan data untuk rekan-rekannya yang tidak dapat meninjau lokasi langsung.
"Selama komunitas ahli tsunami saling bertukar ide dan informasi secara terbuka, tidak masalah jika saya tidak bisa meninjau langsung," kata Liu.
"Namun ada begitu banyak perbedaan ide dan begitu banyak hal yang harus dilakukan. Jika hanya sedikit ahli yang bisa meninjau langsung, artinya ada banyak bukti dan informasi yang akan hilang," sambungnya.
Baca juga: BMKG Buka Suara, Jawab Tuduhan Gagal Beri Peringatan Dini Tsunami
J.C Gaillard, seorang ahli geografi di Universitas Auckland, Selandia Baru, mengatakan bahwa Indonesia berhak mengambil kendali atas penelitian pasca-bencana.
"Tak ada yang tahu dan memahami konteks dan masalah lokal, termasuk penelitan untuk meningkatkan kebijakan dan praktik pengurangan risiko bencana yang lebih baik daripada orang Indonesia yang tinggal di sana," kata Gaillard.
"Ini bukan berarti ahli asing mendapat pengecualian. Tetapi para peneliti lokal yang didukung oleh lembaga lokal harus memimpin perancangan proyek penelitan yang relevan dan disesuaikan dengan kulturnya. Mereka juga harus memimpin pengambilan data dan analisis serta publikasi potensial sesudahnya," imbuhnya.
Saat ini Pemerintah Indonesia tengah menggodok kebijakan hukum bagi peneliti asing yang tidak taat aturan, termasuk hukuman penjara dua tahun bagi mereka yang ketahuan tidak memiliki izin penelitian.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.