Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pulang Survei, Ahli ITB Ungkap Kejadian 6 Menit Jelang Tsunami Palu

Kompas.com - 15/10/2018, 12:09 WIB
Agie Permadi,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS com - Ahli tsunami Dr. Eng. Hamzah Latief dari Kelompok Keahlian Oseanografi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung, melakukan pengamatan langsung ke lokasi tsunami yang terjadi di Palu dan sekitarnya, Rabu (10/10/2018).

Tsunami Palu terjadi 6-8 menit setelah gempa. Lewat survei, ahli ITB mengungkap peristiwa dalam perspektif geologi yang terjadi sebelum tsunami menerjang.

Hamzah menyebut, proses terjadinya tsunami diawali dengan gempa yang dipicu strike slip Patahan Palu Koro. Guncangan itu menyebabkan longsoran sedimen yang oleh aliran sungai dikumpulkan di muara. Ketika lempeng bergerak, sedimen tersebut meluncur jatuh dan menimbulkan tsunami.

Baca juga: Tsunami Palu: Pakar Ingatkan Pentingnya Evakuasi Mandiri

"Teluk Palu ini punya kemiringan dari dangkal sampai ke kedalaman 500 meter. Karena faktor tersebut (longsoran sedimen) telah menambah kenaikan tinggi muka air laut. Tapi penyebab longsoran sedimen belum jelas dari Pantai Talise atau dari mana," ujarnya dikutip di halaman ITB, Senin (15/10/2018).

Hal tersebut terungkap dalam pengamatan yang dilakukan Hamzah saat meninjau beberapa lokasi kejadian tsunami dari mulai Pantai Watusepu, Buluri dan Talise, Sulawesi Tengah, bersama tim ITB, Pusat Studi Gempa bumi Nasional (Pusgen), LIPI, dan Kementerian PUPR.

Hamzah juga berkesempatan langsung bertemu warga yang menjadi saksi dan berbincang langsung dengan mereka. Dikatakan, tsunami terjadi begitu cepat dan tiba-tiba setelah gempa terjadi.

Baca juga: Apa itu Sesar Palu Koro yang Menyebabkan Tsunami dan Gempa Bumi?

"Tsunami ini menjalar ke segala arah, 6 menit kemudian tercatat di Pantoloan berdasarkan pasang surut dan juga 4 menit di daerah Watusepu," ungkapnya.

Hamzah pun melakukan pengukuran ketinggian tsunami di beberapa lokasi, seperti di bawah Jembatan Kuning Palu atau Ponulele yang ambruk. Ketinggian air bisa diketahui dari sisa-sisa sampah yang menyangkut di dinding tembok jembatan dengan ketinggian sampai lima meter. Di beberapa lokasi lain, ketinggian tsunami bervariasi ada yang tiga meter dan empat meter.

"Lokasi kejadian tsunami yang parah berada di Talise, lebih dari 200 mayat ditemukan," kata Hamzah. Baik di titik tertinggi maupun titik terendah, tsunami menerjang pantai, menghantam permukiman, hingga gedung-gedung dan fasilitas umum.

Baca juga: Sepekan Berlalu, Satu per Satu Misteri Tsunami Palu Terkuak

Hamzah melihat ada penurunan muka tanah terutama di daerah Jembatan Ponulele dan di masjid terapung di pinggir laut yang saat ini terendah air. "Kemungkinan di sana juga terjadi lateral spreading," katanya.

Banyak studi penelitian tentang Sesar Palu Koro. Menurutnya, sesar tersebut merupakan patahan aktif di Indonesia dengan pergerakan sekitar 44 milimeter per tahun. Patahan Palu Koro memotong wilayah Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.

ITB sendiri memulai fokus dalam penelitian tentang sesar Palu Koro pada 2012, hasilnya telah disampaikan kepada pemerintah daerah setempat, BNPB, dan staf ahli kepresidenan. Secara historis, kata Hamzahm penduduk setempat sudah mengetahui tentang gempa, tsunami dan likuefaksi dengan bahasa-bahasa lokal di sana.

"Setelah survei ini, perlu dilakukan kajian pemetaan bahaya tsunami dan dipertimbangkan dalam penataan ruang. Dibangun suatu bangunan yang akrab terhadap bahaya tsunami," jelasnya.

Baca juga: Kini Terungkap, Tsunami Palu Menerjang Hanya 8 Menit Setelah Gempa!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com