Peleburan identitas dalam kelompok dipandang sebagai ikatan yang sangat sulit untuk diputus, sehingga salah satu cara untuk mencegah hal ini terulang kembali hingga akar-akarnya adalah dengan membubarkan kelompok itu sendiri.
Namun jika kita memandang bahwa langkah ini terlalu ekstrem, tentu taktik yang lebih moderat patut dicoba.
Salah satu taktik moderat yang bisa dilakukan adalah dengan mengubah norma dalam kelompok. Artinya adalah anggota pendukung sepak bola harus mengubah aturan main soal bagaimana seharusnya mereka berinteraksi dengan suporter klub lainnya.
Anda boleh sangat cinta dengan sebuah kelompok, tapi Anda tidak boleh menghalalkan tindak kekerasan dalam membela kelompok Anda.
Sisi inilah yang harus menjadi fokus bersama, yaitu bagaimana menguatkan norma anti-kekerasan dan membangun citra pendukung bola sebagai kelompok yang menjunjung tinggi persaingan positif dan relasi yang damai.
Untuk menegakkan norma sosial ini, kita tidak bisa mempercayakannya begitu saja pada pihak luar, karena hasilnya tidak akan maksimal.
Norma sosial akan jauh lebih efektif jika norma tersebut berasal dari anggota kelompok itu sendiri. Perlu ada tindakan aktif dari pihak-pihak yang terlibat aktif dalam organisasi sepak bola itu sendiri, seperti pengurus Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI), pengurus kelompok pendukung sepak bola, hingga anggota kelompok pendukung sendiri.
Pihak-pihak tersebut perlu membuat kesepakatan dan komitmen bersama mengedepankan sportivitas serta prestasi untuk menunjukkan keunggulan kelompok dan menolak secara tegas segala bentuk kekerasan.
Mereka yang melanggar kesepakatan perlu mendapat sangsi tegas, tak hanya dari kepolisian tapi juga dari anggota kelompok itu sendiri. Pembiaran dan bahkan pembenaran dari anggota kelompok pendukung sendiri hanya akan menjadikan permasalahan ini jauh dari jalan keluar.
Susilo Wibisono
Lecturer in Psychology at Universitas Islam Indonesia and PhD Candidate at the University of Queensland, Australita, The University of Queensland
Whinda Yustisia
Lecturer in political pyschology, Universitas Indonesia
Catatan redaksi: Artikel ini ditayangkan di Kompas.com atas kerja sama dengan The Conversation Indonesia. Artikel di atas dikutip dari tulisan berjudul "Keberagaman gender di Indonesia". Isi artikel di luar tanggung jawab redaksi Kompas.com.