Oleh Susilo Wibisono dan Whinda Yustisia
PUBLIK kembali terpegun. Satu lagi penggemar bola tewas. Haringga Sirila (23 tahun), anggota The Jak Mania, sebutan untuk penggemar klub sepak bola asal ibukota, tewas setelah dikeroyok oleh sekelompok suporter Persib Bandung, The Viking.
Semua pihak tentu mengutuk kejadian tersebut, dan tentu saja berhak untuk mempertanyakan tragedi ini kepada siapa pun yang punya andil dalam regulasi sepak bola di Indonesia. Tapi pertanyaan yang paling mendasar, mengapa tragedi ini terulang lagi? Apa yang bisa kita lakukan untuk mencegahnya?
Mengapa bisa terjadi?
Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sebuah kelompok, dalam kajian psikologi maupun antropologi, dikenal dengan istilah “amuk”.
Istilah ini dikenal dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Belanda namun akarnya memang berasal dari tradisi kita.
Dalam kamus online etimologi, amuk diartikan sebagai “menyerang dengan penuh amarah” atau “menyerang tanpa kontrol”. Kata ini pertama kali muncul dalam literatur Bahasa Inggris pada tahun 1516 setelah mengadopsinya dari Bahasa Melayu atau Jawa.
Lebih lanjut, dalam budaya Melayu, amuk ini dikaitkan dengan peristiwa kerasukan roh jahat. Oleh karenanya, kajian yang dilakukan ahli psikiatri University of Southern California, Manuel L. Saint Martin dengan kerangka psikologi modern mengatribusikan jenis kekerasan ini dengan gangguan mental, gangguan kepribadian dan tekanan psikologis yang ekstrim.
Jadi kekerasan jenis ini memiliki akar pada rasa frustrasi sebagai efek tekanan tersebut. Bentuk-bentuk kekerasan vertikal (misal: rakyat melawan aparat) memiliki relevansi dengan hal ini, tapi tidak untuk kekerasan antar suporter sepak bola.
Lantas apa yang menjadikan kekerasan fisik (baca: pembunuhan) para suporter bola terjadi?
Pastinya kejadian ini disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya yang ingin kami bahas di sini adalah faktor psikologis.
Kajian psikologi sosial menjelaskan bahwa individu memiliki dua jenis identitas: identitas personal, yaitu apa yang unik dan membedakan kita dari orang lain (“saya beda dengan orang lain”), dan identitas sosial, yaitu apa yang mengikat kita dengan orang lain (“saya sama dengan sesama orang Indonesia”).
Bagaimana hubungan antara dua identitas ini dan apa relevansinya dengan kasus kekerasan dalam sepak bola kita? Beberapa ilmuwan psikologi sosial menyodorkan sebuah ide terkait hal ini yang kemudian terus menerus diuji melalui penelitian.
Ide itu dikenal dengan istilah peleburan identitas (identity fusion). William B. Swann dari University of Texas bersama beberapa koleganya menjelaskan konsep ini sebagai perasaan menyatu antara individu dengan kelompoknya yang membuat individu rela untuk melakukan hal-hal ekstrem demi kelompok tersebut.
Dalam peleburan identitas, individu memandang sesama anggota kelompoknya sebagaimana ikatan emosional dengan anggota keluarga. Apa yang anda lakukan ketika pasangan atau keluarga dekat Anda diganggu orang lain yang tidak Anda sukai? Atau orang tersebut menghina keluarga Anda? Seperti itulah teori ini bekerja.
Ikatan emosional seperti ini dapat meluas pada cakupan yang lebih besar, seperti klub olahraga dan tentu saja kelompok suporter sepak bola.
Beberapa kajian mencoba menjelaskan bagaimana peleburan identitas ini dapat memicu munculnya tindakan ekstrem?
Pertama, perasaan bersemangat secara empiris terbukti mampu meningkatkan dorongan melakukan tindakan ekstrem atas nama kelompok bagi mereka yang identitasnya telah melebur bersama kelompok.
Eksperimen yang melibatkan 245 pelajar (99 perempuan dan 146 laki-laki) telah dilakukan di Spanyol untuk membuktikan hal ini. Dalam sebuah permainan bola (dodgeball), kondisi bersemangat para peserta dimanipulasi dan diukur berdasarkan frekuensi detak jantung setelah permainan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa situasi yang menciptakan perasaan bersemangat pada kelompok akan diikuti dengan tendensi individu untuk melakukan tindakan yang ekstrem atas nama kelompoknya.
Dalam teori peleburan identitas, hal ini dikenal dengan prinsip agensi personal yaitu kondisi dimana individu merasa bahwa dirinya mewakili kelompok untuk melakukan sesuatu atas nama kelompok tersebut.
Tragedi kematian Haringga relevan dilihat dari kacamata ini. Situasi pra-pertandingan dan kerumunan massal, ditambah dengan kebiasaan suporter meneriakkan yel-yel untuk mendukung tim idolanya di Gelora Bandung Lautan Api, Bandung, Jawa Barat tentu saja menimbulkan perasaan bersemangat dan merangsang munculnya tendensi perilaku ekstrem bagi individu-individu yang identitasnya melebur ke dalam kelompok suporter.
Lebih lanjut, situasi ini disulut dengan teriakan beberapa orang tentang adanya musuh di antara kerumunan tersebut. Dan aksi pengeroyokan pun tidak dapat dihindarkan sebagaimana kita ketahui.
Perasaan bersemangat ini tentu saja bukan satu-satunya sebab yang mendorong peleburan identitas pada perilaku kekerasan. Ia hanya minyak yang disiramkan pada setitik nyala api.
Kedua, penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan pengalaman masa lalu yang dirasakan bersama juga berperan besar dalam hal ini.
Tahun 2017 lalu kami bersama beberapa kolega (Martha Newson dan Harvey Whitehouse dari Institute of Cognitive and Evolutionary Anthropology, Oxford University, serta Vici Sofiana Putera dari Universitas Nahdhatul Ulama Indonesia) mengumpulkan data dari para suporter Persib dan Persija dengan sampel sebesar 100 orang.
Fokus kajian kami adalah sejauh mana pengalaman menyakitkan yang dirasakan bersama mampu mendorong peleburan identitas dalam kelompok dan merangsang munculnya tendensi melakukan kekerasan atas nama kelompok.
Hasil kajian kami mengindikasikan bahwa tendensi melakukan kekerasan akan semakin menguat seiring dengan menguatnya perasaan menyatu dengan kelompok apalagi ketika mereka memiliki pengalaman menyakitkan bersama-sama.
Dan kita tahu bahwa, dalam konteks ini, kedua kelompok sama-sama memiliki pengalaman bersama yang menyakitkan ketika satu atau lebih anggota mereka menjadi korban pengeroyokan anggota kelompok lain. Rantai dendam agaknya sangat sulit untuk diputus.
Apa yang bisa dilakukan?
Peleburan identitas dalam kelompok dipandang sebagai ikatan yang sangat sulit untuk diputus, sehingga salah satu cara untuk mencegah hal ini terulang kembali hingga akar-akarnya adalah dengan membubarkan kelompok itu sendiri.
Namun jika kita memandang bahwa langkah ini terlalu ekstrem, tentu taktik yang lebih moderat patut dicoba.
Salah satu taktik moderat yang bisa dilakukan adalah dengan mengubah norma dalam kelompok. Artinya adalah anggota pendukung sepak bola harus mengubah aturan main soal bagaimana seharusnya mereka berinteraksi dengan suporter klub lainnya.
Anda boleh sangat cinta dengan sebuah kelompok, tapi Anda tidak boleh menghalalkan tindak kekerasan dalam membela kelompok Anda.
Sisi inilah yang harus menjadi fokus bersama, yaitu bagaimana menguatkan norma anti-kekerasan dan membangun citra pendukung bola sebagai kelompok yang menjunjung tinggi persaingan positif dan relasi yang damai.
Untuk menegakkan norma sosial ini, kita tidak bisa mempercayakannya begitu saja pada pihak luar, karena hasilnya tidak akan maksimal.
Norma sosial akan jauh lebih efektif jika norma tersebut berasal dari anggota kelompok itu sendiri. Perlu ada tindakan aktif dari pihak-pihak yang terlibat aktif dalam organisasi sepak bola itu sendiri, seperti pengurus Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI), pengurus kelompok pendukung sepak bola, hingga anggota kelompok pendukung sendiri.
Pihak-pihak tersebut perlu membuat kesepakatan dan komitmen bersama mengedepankan sportivitas serta prestasi untuk menunjukkan keunggulan kelompok dan menolak secara tegas segala bentuk kekerasan.
Mereka yang melanggar kesepakatan perlu mendapat sangsi tegas, tak hanya dari kepolisian tapi juga dari anggota kelompok itu sendiri. Pembiaran dan bahkan pembenaran dari anggota kelompok pendukung sendiri hanya akan menjadikan permasalahan ini jauh dari jalan keluar.
Susilo Wibisono
Lecturer in Psychology at Universitas Islam Indonesia and PhD Candidate at the University of Queensland, Australita, The University of Queensland
Whinda Yustisia
Lecturer in political pyschology, Universitas Indonesia
Catatan redaksi: Artikel ini ditayangkan di Kompas.com atas kerja sama dengan The Conversation Indonesia. Artikel di atas dikutip dari tulisan berjudul "Keberagaman gender di Indonesia". Isi artikel di luar tanggung jawab redaksi Kompas.com.