Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Pakar Jelaskan Alasan Suporter Bola Kita Membunuh Lagi

Kompas.com - 28/09/2018, 20:07 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh Susilo Wibisono dan Whinda Yustisia

PUBLIK kembali terpegun. Satu lagi penggemar bola tewas. Haringga Sirila (23 tahun), anggota The Jak Mania, sebutan untuk penggemar klub sepak bola asal ibukota, tewas setelah dikeroyok oleh sekelompok suporter Persib Bandung, The Viking.

Semua pihak tentu mengutuk kejadian tersebut, dan tentu saja berhak untuk mempertanyakan tragedi ini kepada siapa pun yang punya andil dalam regulasi sepak bola di Indonesia. Tapi pertanyaan yang paling mendasar, mengapa tragedi ini terulang lagi? Apa yang bisa kita lakukan untuk mencegahnya?

Mengapa bisa terjadi?

Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh sebuah kelompok, dalam kajian psikologi maupun antropologi, dikenal dengan istilah “amuk”.

Istilah ini dikenal dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Belanda namun akarnya memang berasal dari tradisi kita.

Dalam kamus online etimologi, amuk diartikan sebagai “menyerang dengan penuh amarah” atau “menyerang tanpa kontrol”. Kata ini pertama kali muncul dalam literatur Bahasa Inggris pada tahun 1516 setelah mengadopsinya dari Bahasa Melayu atau Jawa.

Lebih lanjut, dalam budaya Melayu, amuk ini dikaitkan dengan peristiwa kerasukan roh jahat. Oleh karenanya, kajian yang dilakukan ahli psikiatri University of Southern California, Manuel L. Saint Martin dengan kerangka psikologi modern mengatribusikan jenis kekerasan ini dengan gangguan mental, gangguan kepribadian dan tekanan psikologis yang ekstrim.

Jadi kekerasan jenis ini memiliki akar pada rasa frustrasi sebagai efek tekanan tersebut. Bentuk-bentuk kekerasan vertikal (misal: rakyat melawan aparat) memiliki relevansi dengan hal ini, tapi tidak untuk kekerasan antar suporter sepak bola.

Lantas apa yang menjadikan kekerasan fisik (baca: pembunuhan) para suporter bola terjadi?

Pastinya kejadian ini disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya yang ingin kami bahas di sini adalah faktor psikologis.

Kajian psikologi sosial menjelaskan bahwa individu memiliki dua jenis identitas: identitas personal, yaitu apa yang unik dan membedakan kita dari orang lain (“saya beda dengan orang lain”), dan identitas sosial, yaitu apa yang mengikat kita dengan orang lain (“saya sama dengan sesama orang Indonesia”).

Bagaimana hubungan antara dua identitas ini dan apa relevansinya dengan kasus kekerasan dalam sepak bola kita? Beberapa ilmuwan psikologi sosial menyodorkan sebuah ide terkait hal ini yang kemudian terus menerus diuji melalui penelitian.

Ide itu dikenal dengan istilah peleburan identitas (identity fusion). William B. Swann dari University of Texas bersama beberapa koleganya menjelaskan konsep ini sebagai perasaan menyatu antara individu dengan kelompoknya yang membuat individu rela untuk melakukan hal-hal ekstrem demi kelompok tersebut.

Dalam peleburan identitas, individu memandang sesama anggota kelompoknya sebagaimana ikatan emosional dengan anggota keluarga. Apa yang anda lakukan ketika pasangan atau keluarga dekat Anda diganggu orang lain yang tidak Anda sukai? Atau orang tersebut menghina keluarga Anda? Seperti itulah teori ini bekerja.

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau