Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pahami, Tak Semua Penyakit Butuh Antibiotik

Kompas.com - 24/09/2018, 19:04 WIB
Bhakti Satrio Wicaksono,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Ketika tubuh terkena penyakit yang disebabkan infeksi bakteri, biasanya dokter memberikan obat antibiotik untuk menyembuhkannya. Padahal, hal ini kurang tepat, tidak semua penyakit akibat infeksi bakteri perlu antibiotik.

Hal ini dituturkan Harry Parathon, SpOG, saat ditemui dalam kegiatan diskusi kesehatan yang mengangkat tema Mengenal Bakteri & Risikonya Terhadap Kesehatan, Senin (24/09/2018), di Jakarta.

Ia bahkan mengatakan, pada kasus-kasus penyakit ringan seperti batuk dan pilek, sama sekali tidak membutuhkan antibiotik.

“Contoh batuk pilek hampir pasti mendapat antibiotik. Padahal batuk pilek itu bukan penyakit, itu cara tubuh melindungi paru-paru dari lendir. Tapi kalau ga dihilangkan itu lendirnya malah numpuk nanti akhirnya justru harus diuap,” ujar Harry.

Baca juga: Kondisi Langka, Lidah Wanita Ini Menghitam Setelah Konsumsi Antibiotik

Di dalam tubuh kita, ada sekitar 100 triliun bakteri yang meliputi bakteri jahat dan bakteri baik. Harry mengatakan, jika kita terus mengonsumsi antibiotik ketika sakit, maka bakteri akan "beradaptasi" dengan obat tersebut sehingga justru akan membahayakan tubuh.

Ia menambahkan, pada dasarnya bakteri menyimpan gen resistensi yang membuat mereka bertahan hidup dan kebal setelah pengobatan antibiotik dilakukan berulang-ulang.

"Dan antibiotik itu tidak berkembang, belum ada perkembangan tentang antibiotik yg baru. Antibiotik itu terbatas, sejak tahun 2000 tidak ada perkembangan antibiotik baru di dunia. Karena biayanya mahal, tapi mudah terjadi resistensi pada bakterinya," katanya.

Pada kasus yang lain, Harry mencontohkan infeksi karena luka operasi tertentu juga tidak bisa diobati oleh antibiotik dan justru bisa memperparah luka bila memberikan antibiotik.

"Ada operasi biasa, (misalnya) operasi angkat kandungan kemudian terjadi infeksi luka operasi. Pada kasus ini antibiotik tidak bisa mematikan bakteri karena (bakteri) sudah resisten dan bahkan kalau dikasih antibiotik malah memperparah luka. Sebaiknya menggunakan apa? Kita perbaiki makannya, telur sehari enam, daging, makan kaya protein, kita isolasi, kita tumbuhkan bakteri baiknya. Akhirnya lukanya mulai mengecil," jelas Harry.

Oleh karena itu, Harry menghimbau akan pentingnya diagnosis terhadap pemetaan penyakit yang disebabkan oleh bakteri pada pasien.

"Di zaman sekarang dokter kalau diagnosis itu penting. Pasien juga harus minta untuk didiagnosis. Harus tau apa penyebab infeksi, apakah bakteri, virus, atau jamur. Lalu sakitnya itu apakah disebabkan oleh bakteri atau virus? Lalu disamakan apakah jenis bakteri dan antibiotik sesuai. Itu pun belum tentu sembuh. Durasi antibiotik juga enggak boleh lama-lama," ujar Harry.

Baca juga: Akhir Tragis Pasien Pertama yang Diobati dengan Antibiotik

Harry menambahkan, banyak dokter yang hanya terfokus pada penyembuhan gejalanya saja, tidak masuk kepada tahap diagnosis.

"Misalnya kalau flu kita dapat antibiotik, sedangkan flu itu disebabkan oleh virus, ya enggak cocok. Justru antibiotik akan membunuh bakteri tersebut," jela Harry yang juga menjadi Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba, Kementerian Kesehatan RI.

Isu mengenai bakteri bukan menjadi isu sempit yang dikhawatirkan hanya terjadi di Indonesia. Harry menjelaskan, bakteri jahat telah menjadi ancaman kematian di seluruh dunia.

Ia melanjutkan, jika hal ini tidak ditindaklanjuti, akan terjadi 10 juta kematian per tahun akibat bakteri jahat di seluruh dunia, dan Asia akan menyumbang 4,7 jiwa juta per tahun di antaranya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau