KOMPAS.com - Napoleon Bonaparte, kaisar Perancis berpengaruh yang menaklukan hampir seluruh dataran Eropa akhirnya harus bertekuk lutut dalam pertempuran Waterloo pada Juni 1816.
Sejarawan mencatat kondisi hujan dan berlumpur membantu tentara sekutu mengalahkan Bonaparte. Peristiwa kekalahan Bonaparte ini pada akhirnya mengubah jalannya sejarah Eropa.
Namun siapa sangka, kondisi tak bersahabat yang dialami Bonaparte disebabkan oleh kekuatan alam yang berjarak ribuan kilomater. Tak lain adalah dampak dari erupsi gunung Tambora di Pulau Sumbawa yang menewaskan sekitar 100.000 orang, dua bulan sebelumnya.
Selain membuat Bonaparte kalah telak, letusan Tambora juga berdampak pada penurunan suhu global yang membuat gagal panen serta kelaparan. Tak heran, fenomena alam itu dijuluki sebagai "Tahun Tanpa Musim Panas".
Baca juga: Apa yang Terjadi bila Gunung Tambora Meletus di Masa Depan?
Menurut Dr Matthew Genge dari Imperial College London yang melakukan penelitian tentang Tambora, ia menemukan bahwa abu vulkanik letusan Tambora dialiri listrik dan dapat memendekkan arus listrik ionosfer, lapisan atas atmosfer yang bertanggung jawab dalam pembentukan awan.
Akibatnya terjadi pembentukan awan yang kemudian diikuti dengan hujan lebat di seluruh Eropa dan menyebabkan kekalahan Napoleon Bonaparte.
Studi yang dipublikasikan di jurnal Geology, Selasa (21/8/2018) menunjukkan bahwa letusan gunung berapi dapat menghempaskan abu jauh lebih tinggi dari yang diperkirakan sebelumnya, yakni mencapai sekitar 100 kilometer di atas permukaan tanah.
"Sebelumnya para ahli geologi mengira abu vulkanik terperangkap di atmosfer yang lebih rendah. Namun penelitian saya menunjukkan bahwa abu dapat naik ke lapisan lebih tinggi melalui kekuatan listrik," kata Genge dilansir Science Daily, Rabu (22/8/2018).
Serangkaian percobaan menunjukkan bahwa kekuatan elektrostatik dapat mengangkat abu jauh lebih tinggi daripada daya apung sendiri. Genge menggunakan simulasi untuk menghitung seberapa jauh abu vulkanis yang bermuatan bisa naik.
Ia kemudian menemukan bahwa partikel yang lebih kecil dari 0,2 juta meter diameternya bisa mencapai ionosfer selama erupsi besar.
"Gumpalan dan abu vulkanik dapat memiliki muatan listrik negatif dan mendorongnya tinggi ke atmosfer. Efeknya sangat mirip seperti dua magnet didorong menjauh satu sama lain jika kutub mereka cocok," katanya.
Genge juga membandingkan dengan erupsi besar lain yang terjadi untuk menguji teorinya.
Baca juga: Terdampak Erupsi Toba, Manusia Purba Afrika Tetap Bisa Bertahan
Ia memeriksa catatan cuaca setelah letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883.
Data menunjukkan suhu rata-rata lebih rendah dan curah hujan berkurang setelah letusan dimulai. Sementara curah hujan global menurun selama letusan daripada periode sebelum atau sesudah letusan.
Genge juga menemukan laporan gangguan ionosfer setelah letusan Gunung Pinatubo pada tahun 1991 di Filipina.
Selain itu, awan dengan tipe khusus juga muncul lebih sering setelah letusan Krakatau. Awan noctilucent jarang ditemui dan bercahaya, terbentuk di ionosfer. Hal ini memberikan bukti adanya peningkatan debu elektrostatik dari letusan gunung berapi besar.
"Vigo Hugo dalam novel Les Miserables pernah mengatakan jika langit dengan awan yang tak biasa cukup untuk membawa kiamat sebuah dunia. Dan kini kita sudah selangkah lebih dekat untuk memahami bagian Tambora melalui pertempuran yang terjadi dibelahan bumi lain," pungkas Genge.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.