PEKANBARU, KOMPAS.com – Dalam gelaran puncak perayaan Hari Kebangkitan Teknologi Nasional, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, memfokuskan pada kemandirian pangan dan energi. Untuk urusan pangan, sampai saat ini mayoritas masyarakat Indonesia masih mengandalkan nasi yang dari padi sebagai menu utamanya.
Hal ini bukan berarti salah. Namun mempertimbangkan kadar gula dan terus menerusnya Indonesia mengimpor beras, Dr Hardaning Pranamuda, M.Sc, Direktur Pusat Teknologi Agroindustri, dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berpendapat perlu adanya penghentian ketergantungan akan beras dari padi.
Ditemui pada puncak perayaan Hakteknas 2018, Jumat (10/08/2018), di Pekanbaru, Riau, Hardaning dan tim memamerkan terobosannya, yaitu beras yang berbahan dasar sagu.
“Kita punya sumber daya pangan lokal seperti sagu, ubi kayu, jagung, talas, dan sebagainya. Di satu sisi, kita makan beras kan beras dari padi. Nah kita pingin bagaimana pangan lokal bisa berdaya, dan ketergantungan kita pada beras dari padi bisa berkurang,” jelas Hardaning.
Baca juga: Belum Kenyang Kalau Belum Makan Nasi? Itu karena Otak
Kekhawatiran pada masyarakat Indonesia akan ketidakbiasaan untuk mengonsumsi makanan lain yang bentuknya berbeda dari nasi menginspirasi Hardaning dan tim untuk tetap mempertahankan bentuk nasi, meskipun bahan dasarnya berbeda.
Tidak hanya dalam bentuk beras, mie dari sagu pun juga ditawarkan oleh mereka.
“Kalau mie kan dari terigu, sedangkan terigu kita impor. Makanya kita menggantikan mie dengan sumber daya pangan lokal dari sagu. Dibuatlah beras sagu, mie sagu, beras jagung, atau ubi kayu dan lain sebagainya. Kita kembangkan supaya kita mengurangi ketergantungan impor,” tegas Hardaning.
Dari sisi kesehatan, menurut Hardaning, dibandingkan nasi dari padi, beras sagu jauh lebih baik. Hal ini karena beras sagu mempunyai kandungan serat yang tinggi, indeks glikemiknya rendah, mengadung pati resisten yang baik bagi pencernaan, serta aman bagi penderita diabetes.
Baca juga: Politik Sepiring Nasi Jagung, Ikan kembung dan Lalap Sambel
“Kita sudah uji manfaatnya dengan tikus yang kita beri penyakit diabetes. Ternyata, gula darahnya terjaga stabil. Kita juga mencobakan pada responden di Yogyakarta, ternyata memang bagus untuk dikonsumsi. Sekarang kita juga membiasakan di lingkungan tempat kerja BPPT dengan bahan ini. Jadi kita sambil mensosialisasikan pola hidup sehat,” jelasnya.
Meskipun sebagian besar bahan baku dari beras ini adalah sagu, namun Hardaning tetap mencampurnya dengan beras merah. Hal ini dilakukan karena ingin menambahkan gizi dan nutrisi yang terkandung di dalam beras merah.
Beras sagu sendiri telah dipasarkan secara daring dalam kemasan 250 gram, 400 gram, dan 850 gram. Hardaning optimis, bahwa beras sagu ini dapat diterima di masyarakat dan dengan perlahan mampu mengurangi ketergantungan masyarakat Indonesia akan nasi yang berasal dari padi.
Lebih lanjut, ia berharap agar masyarakat Indonesia tidak tergantung pada satu komoditas karena Indonesia kaya akan dengan bahan lain yang merupakan sumber energi juga. Dengan adanya beras sagu ini, Hardaning juga yakin angka penderita diabetes di Indonesia dapat ditekan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.