KOMPAS.com - Setiap tahun, Hari Gizi diperingati dengan cirinya masing-masing. Yang pasti, tak luput dari semua situasi dan kondisi yang merupakan cermin status gizi saat itu.
Pesatnya jalur informasi, teknologi dan transportasi misalnya, sebagai pendongkrak pangan industri yang seakan menjadi ‘jagoan’ penyelamat publik yang tunggang langgang mengatakan tak punya waktu untuk memasak.
Status gizi yang muncul akhirnya amat tipikal dengan gaya hidup. Termasuk penyakitnya. Pemahaman setengah-setengah atau hanya mengobati sebatas keluhan yang muncul, bukan hanya membuat masalah sebenarnya tak terselesaikan, tapi juga menorehkan paradigma ngawur tentang layanan kesehatan.
Dalam konteks gizi, begitu kita berada dalam deretan tertinggal (apalagi tersasarkan), untuk mengejar kembali ke jalur semestinya bukanlah semudah membalikkan telapak tangan.
Kepanikan tampak nyata saat segala cara ditempuh – bahkan pelbagai upaya yang validitas dan efektivitasnya belum terbukti, atau sudah terlalu usang, atau malah berisiko menimbulkan ekses yang tak terpikirkan sebelumnya.
Seorang anak dengan gizi buruk misalnya, kontributor ketinggalan tinggi dan berat badan tidak semata-mata akibat kurang asupan kalori protein.
Infeksi samar dan tersembunyi menahun jika tak tertangani secara sinergis, membuat apa pun yang masuk ke tubuhnya menjadi hal yang sia-sia.
Sebutlah asupan tinggi mineral dan pelbagai vitamin termasuk zat besi. Alih-alih mendorong pertumbuhan, justru status anemia menjadi kian parah dengan adanya parasit cacing usus yang belum diberantas.
Suplementasi zat besi yang menjadi “ilmu radikal pengentasan anemia” sejak jaman Belanda rupanya butuh de-radikalisasi dengan merujuk pada penelitian terbaru berbasis bukti, bukan ‘kepercayaan’.
Apalagi jika ternyata anemianya bukan akibat kekurangan zat besi, melainkan karena sebab lain! Sudah sejak beberapa tahun yang lalu, lembaga kesehatan dunia WHO dan UNICEF menganjurkan diversifikasi pangan lokal dengan fokus pada sumber zat gizi yang ada di lauk sehari-hari sebagai cara pengentasan yang terbaik.
Selain rasa dan bentuknya mudah diterima, sesuai dengan kultur setempat, juga ketersediaan dimungkinkan.
Nah, amat menarik jika ketersediaan dan keterjangkauan harga beli pangan lokal lalu menjadi soal. Hal yang tadinya merupakan konteks sederhana akhirnya melebar merambah ke masalah politik, ekonomi, perdagangan, sosial, pendidikan dan informasi.
Kebijakan yang tidak operasional pun berhenti hingga sekadar jargon. Anjuran makan sayur dan buah bisa menjadi retorika belaka bila sejak usia dini, anak menganggap biskuit bersusu adalah tongkat ajaib untuk tumbuh tinggi besar seperti iklan di televisi. Apalagi, bila dijadikan wahana kampanye.
Para ahli gizi tinggal gigit jari dengan mata berlinang menyaksikan anak-anak nelayan menderita gizi buruk sementara ayahnya tetap menangkap ikan, bukan untuk dikonsumsi, melainkan dijual agar bisa beli roti dan susu coklat.
Sementara warung-warung sepanjang jalan pedesaan lebih memilih berjualan mi instan kosong gizi yang lebih favorit disukai lidah, ketimbang pisang kepok apalagi ubi rebus kaya mineral dan antioksidan.