Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belum Kenyang Kalau Belum Makan Nasi? Itu karena Otak

Kompas.com - 23/01/2018, 21:45 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

Sumber AFP

KOMPAS.com -- Belum kenyang kalau belum makan nasi. Itu merupakan salah satu kalimat yang paling sering kita dengar di Indonesia. Namun, rupanya ini bukan sesuatu yang aneh.

Menurut ilmuwan dari Institut Nasional Ilmu Fisiologis Jepang, keinginan untuk terus melahap karbohidrat sebenarnya datang dari dalam otak.

Mereka berkata bahwa hal itu karena neuron atau sel saraf yang dapat merespons stres sosial sedang aktif dan membuat nafsu makan bertambah.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu mengalihkan keinginan mengonsumsi karbohidrat, makanan manis, atau makanan cepat saji yang tidak sehat.

Baca juga : Diet Mediterania Diklaim Bisa Buat Tubuh Kuat Hingga Usia Senja

Sebelumnya, mereka melakukan uji coba pada tikus. Mereka membuktikan bahwa tikus dengan neuron yang aktif dapat mengonsumsi makanan tinggi karbohidrat dengan kecepatan tiga kali tikus dalam kondisi normal. Selain itu, tikus juga mengurangi separuh asupan makanan berlemak tinggi.

"Ini adalah penelitian pertama yang menunjukkan bagaimana otak memainkan peran dalam preferensi untuk karbohidrat atau lemak," ujar Yasuhiko Minokoshi, ilmuwan yang memimpin penelitian, dikutip dari AFP, Jumat (19/1/2018).

Minokoshi berkata bahwa manusia pada umumnya memang memilih makanan berdasarkan selera dan keadaan gizi tubuh. Namun, mekanisme pasti yang terlibat di dalamnya adalah sebuah misteri.

Baca juga : Daftar Diet Terbaik 2018: Keto Peringkat Buncit, DASH Nomor Satu 

"Banyak orang yang setelah makan banyak permen saat stres cenderung menyalahkan diri karena tidak dapat menahannya. Tapi, seandainya mereka tahu kalau itu karena neuron, mungkin tidak akan sulit untuk mengendalikan diri sendiri," sambungnya.

Namun, Minokoshi berkata bahwa masih sulit menerapkan temuannya untuk memperbaiki pola makan manusia. Pasalnya, sekadar menekan neuron yang memiliki banyak peran penting bisa memicu efek samping.

"Jika kita bisa menemukan molekul tertentu dalam neuron dan menekan sebagian aktivitasnya, kita bisa mengurangi makan berlebihan dari makanan yang tinggi karbohidrat," jelasnya.

Dalam waktu dekat, temuan ini akan segera dipublikasikan dalam jurnal online AS Cell Reports.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau