Perilaku ini juga disebut dengan hukuman pihak ketiga yang mencerminkan perilaku pengikut. Raihani menyebut hal ini seperti mengikuti orang melompat dari tebing.
"Anda tidak mengharapkan perilaku semacam itu bertahan dalam generasi yang sangat panjang," ujarnya.
Sayangnya, ini adalah ciri khas kemanusiaan. Sistem peradilan kita dibangun di sekitar para juri, yang merupakan para pelaku kejatahan pihak ketiga.
Raihani menegaskan, tiak ada spesies lain di Bumi yang senang menghukum orang asing seperti manusia. Kita bahkan lebih cenderung merasa marah atas nama orang lain.
Ini ditunjukkan dalam studi pencitraan-neuro. Hasilnya menunjukkan bahwa menghukum orang lain mengaktifkan jalur penghargaan otak.
Artinya, terasa menyenangkan ketika kita menempatkan orang lain di posisi yang salah.
Pola Aneh
Sebuah eksperimen tentang hukuman dari New York University yang dilakukan pada tahun 2014 menunjukkan pola yang aneh.
Eksperimen tersebut berusahan untuk mengetahui dalam keadaan apa orang akan memilih pilihan selain hukuman ketika menyaksikan sebuah kesalahan.
Baca juga: Menalar Fenomena ?Pelakor?, Ketika Perempuan Bertikai dengan Perempuan
Dalam percobaan ini, mereka memberikan beberapa orang uang bernilai 10 dollar Amerika.
Selanjutnya, mereka diminta membuat pilihan untuk menghukum pelaku atau membantu korban dengan uang mereka.
Pola aneh kemudian muncul.
Ketika para peserta menjadi korban, mereka cenderung tidak menghukum pelaku.
Tapi, ketika mereka membuat keputusan atas nama orang lain (hanya menyaksikan ketidakadilan), mereka juga secara konsisten justru memilih menghukum pelaku.
"Ini sangat berlawanan," kata Oriel FeldmanHall, penulis utama makalah tersebut.