KOMPAS.com - Salah satu perilaku manusia yang paling umum sekaligus membingungkan adalah ingin turut campur terhadap masalah orang lain.
Hal ini lebih terlihat lagi di era digital seperti sekarang. Kebanyakan orang akan ikut menanggapi apa yang sedang viral di internet.
Salah satu contoh terbaru adalah kasus viralnya Bowo Alpenliebe yang terkenal berkat sebuah aplikasi bernama Tik Tok.
Bowo Tik Tok sempat melakukan meet and greet yang memungut biaya masuk acara tersebut. Banyak yang merasa Bowo 'sok terkenal' atau 'sok keren' karena memungut biaya untuk acaranya.
Mungkin yang dilakukan Bowo memang kurang pas, tapi ribuan orang menjadikannya viral bahkan melakukan perundungan.
Penghukuman ekstrem terhadap Bowo ini berdampak pada dirinya dan keluarga.
Dilansir dari Tribunnews, Kamis (05/07/2018), ibunda Bowo bahkan sampai keluar dari pekerjaannya karena terus kepikiran dengan sang putra.
Jika tujuan akhir dari hukuman tersebut adalah memperbaiki perilaku buruk, Bowo mungkin telah mendapatkan pesan tersebut dari beberapa ratus balasan pertama.
Namun, mengapa kebanyakan orang suka beramai-ramai mem-bully Bowo atau juga dikenal dengan istilah mob mentality?
Kenikmatan Menghukum
Ini karena manusia adalah satu-satunya spesies yang menikmati menghukum orang lain.
"Sepertinya otak kita terhubung untuk menikmati menghukum orang lain," ungkap Nichola Raihani, psikolog di University College London dikutip dari Vox, Rabu (20/04/2016).
Baca juga: Dua Cara Hukum Kebiri Dilakukan
Meski begitu, hal ini tetap menjadi misteri evolusi bagi para peneliti seperti Raihani.
Menurutnya, menghukum orang asing seharusnya berbahaya. Itu karena mereka bisa membalas dan menyakiti kita atau mengancam kelangsungan hidup jangka panjang.
Apalagi, evolusi yang dipahami oleh Darwin memihak pada kepentingan pribadi yang sempit. Artinya, menghukum orang yang tidak dikenal memiliki potensi "bayaran" yang mahal.
Perilaku ini juga disebut dengan hukuman pihak ketiga yang mencerminkan perilaku pengikut. Raihani menyebut hal ini seperti mengikuti orang melompat dari tebing.
"Anda tidak mengharapkan perilaku semacam itu bertahan dalam generasi yang sangat panjang," ujarnya.
Sayangnya, ini adalah ciri khas kemanusiaan. Sistem peradilan kita dibangun di sekitar para juri, yang merupakan para pelaku kejatahan pihak ketiga.
Raihani menegaskan, tiak ada spesies lain di Bumi yang senang menghukum orang asing seperti manusia. Kita bahkan lebih cenderung merasa marah atas nama orang lain.
Ini ditunjukkan dalam studi pencitraan-neuro. Hasilnya menunjukkan bahwa menghukum orang lain mengaktifkan jalur penghargaan otak.
Artinya, terasa menyenangkan ketika kita menempatkan orang lain di posisi yang salah.
Pola Aneh
Sebuah eksperimen tentang hukuman dari New York University yang dilakukan pada tahun 2014 menunjukkan pola yang aneh.
Eksperimen tersebut berusahan untuk mengetahui dalam keadaan apa orang akan memilih pilihan selain hukuman ketika menyaksikan sebuah kesalahan.
Baca juga: Menalar Fenomena ?Pelakor?, Ketika Perempuan Bertikai dengan Perempuan
Dalam percobaan ini, mereka memberikan beberapa orang uang bernilai 10 dollar Amerika.
Selanjutnya, mereka diminta membuat pilihan untuk menghukum pelaku atau membantu korban dengan uang mereka.
Pola aneh kemudian muncul.
Ketika para peserta menjadi korban, mereka cenderung tidak menghukum pelaku.
Tapi, ketika mereka membuat keputusan atas nama orang lain (hanya menyaksikan ketidakadilan), mereka juga secara konsisten justru memilih menghukum pelaku.
"Ini sangat berlawanan," kata Oriel FeldmanHall, penulis utama makalah tersebut.
"Mengapa kamu bisa tidak menghukum pelaku ketika menjadi korban, tetapi tidak bisa melakukan itu ketika memutuskan sebagai pihak ketiga?" sambungnya.
Menurutnya, hal ini karena kita menghukum orang lain sebagai pihak ketika karena ingin mencitrakan karakter moral kita sendiri.
"Ide dasarnya adalah orang menghukum keegoisan untuk menyampaikan kepada orang lin bahwa mereka bisa dipercaya," kata Jilian Jordan, peneliti psikologi di Yale.
Jordan menekankan bahwa orang-orang tidak murni egois atau tidak jujur ketika mereka mengekspresikan kemarahan moral atas nama orang lain.
"Mereka sebenarnya merasakan kemarahan moral," katanya.
Menghukum di Internet
Meski begitu, ini tidak sepenuhnya menjelaskan mengapa kemarahan moral begitu menonjol di internet.
Namun, salah satu hipotesis terkait hal tersebut adalah keinginan kita menghukum tidak selalu mengikuti jalan yang logis.
Baca juga: Internet Ancam Populasi Singa dan Kawan-kawan, Kok Bisa?
Contoh nyatanya, ketika orang berkomentar ketika melihat sinetron atau sebuah pertandingan olahraga di televisi.
"Jika sumber kemarahan moral kita adalah keinginan untuk mencitrakan kebaikan diri sendiri, maka itu membantu kita memahami mengapa sering kali kemarahan moral kita keluar jalur," ujar David Rand, peneliti senior psikologi.
Brian Resnick, reporter sains Vox menyebut internet punya cara mengambil naluri yang diturunkan evolusi manusia dan menempatkannya dalam "hyperdrive".
Resnick menyebut twitter seperti kotak Skinner dalam kesenangan orang-orang mempermalukan publik.
Ketika Bowo menjadi viral, ini adalah kesempatan yang mudah bagi ribuan orang untuk mendapatkan nilai moral yang tinggi.
"(Internet adalah) forum yang mengambil langkah kita untuk menghukum dan mengarah pada reaksi berlebihan kolektif yang besar dalam beberapa kasus, karena setiap individu mengekspresikan perspektif mereka," spekulasi Jordan.
"Ketika Anda mengumpulkan semuanya, Anda melihat adanya mob mentality," sambungnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.