KOMPAS.com - Para ilmuwan berhasil mengambil gambar fenomena semburan material ketika sebuah bintang "tertelan" oleh gaya gravitasi dari sebuah lubang hitam di inti galaksi, dan itu bukan ledakan supernova.
Dikutip dari Phys.org, Kamis (14/6/2018), para ahli mendapatkan petunjuk awal peristiwa semburan di lubang hitam tersebut pada 30 Januari 2005.
Saat itu, para astronom menggunakan Teleskop William Herschel di Kepulauan Canary sedang mengamati tabrakan dua galaksi yang disebut Arp 299. Peristiwa ini berjarak hampir 150 juta tahun cahaya dari Bumi.
UPDATE: Baca juga: Setelah 2,5 Abad, Gambar Lubang Hitam Pertama Terungkap. Ini Fotonya...
Lalu pada 17 Juli 2005, para ahli mendeteksi adanya sumber emisi baru pada gelombang radio yang berbeda dari lokasi yang sama. Saat itu, para ahli menggunakan teleskop sinar inframerah dan gelombang radio, termasuk teleskop yang ada di National Science Foundation Very Long Baseline Array (VLBA).
"Seiring waktu, objek baru tersebut tetap menyala dalam deteksi gelombang inframerah dan radio, namun tidak secara kasat mata dan X-ray," kata Seppo Mattila dari Universitas Turku di Finlandia.
Baca Juga: "Monster" Lubang Hitam Ini Sanggup Isap Benda Langit Seukuran Matahari
"Penjelasan yang paling mungkin adalah bahwa objek baru tersebut adalah gas tebal antar bintang dan debu di dekat pusat galaksi yang menyerap sinar-X dan cahaya yang terlihat, kemudian memantulkannya ulang sebagai inframerah," tambahnya.
Saat itu, para peneliti juga menggunakan Nordic Optical Telescope di Canary Islands dan teleskop ruang angkasa Spitzer NASA untuk melacak emisi inframerah dari objek baru tersebut.
Kurang lebih setelah satu dekade melakukan penelitian dengan menggunakan VLBA, jaringan VLBI Eropa (EVN) dan teleskop radio lainnya; para ahli akhirnya menunjukkan bahwa sumber emisi radio dari objek baru tersebut memanjang ke satu arah yang menyerupai sebuah semburan.
Dari ukuran panjangnya, para ahli mengungkapkan kecepatan semburan materinya adalah seperempat kecepatan cahaya. Untungnya, gelombang radio tidak ikut tersedot ke inti galaksi dan berhasil melaluinya untuk sampai ke Bumi.
Perlu diingat, pengamatan ini menggunakan beberapa antena teleskop-radio yang berjarak sekitar ribuan mil antara satu sama lain agar mendapatkan kekuatan sinyal yang baik untuk menangkap data-data detail yang diperlukan untuk mendeteksi perluasan suatu objek yang jaraknya sangat jauh.
Baca Juga: Penghormatan bagi Stephen Hawking, Suaranya Dikirim ke Lubang Hitam
Proses pengumpulan datanya bisa membutuhkan waktu lama untuk membuktikan keberadaan semburan tersebut. Namun, bukti-bukti tersebut menunjukkan bahwa yang ditemukan adalah semburan material dan bukan ledakan supernova.
Seperti diketahui, di dalam sebuah inti galaksi, biasanya ada lubang hitam berukuran raksasa, bisa jutaan hingga milyaran kali massa Matahari.
Dengan ukuran sebesar itu, massa di dalamnya akan terkonsentrasi sehingga tarikan gravitasinya begitu kuat, bahkan membuat cahaya tidak bisa keluar.
Saat lubang hitam supermasif tersebut aktif menarik material di sekelilingnya, material itu membentuk cakram berputar di sekitar lubang hitam, dan pancaran partikel supercepat diluncurkan keluar.
Inilah yang terdeteksi oleh para ahli melalui gelombang radio yang dipancarkan oleh benda langit atau quasar.
"Namun, sebagian besar waktu, lubang hitam supermasif tidak secara aktif melahap apa pun, sehingga mereka dalam keadaan tenang," jelas Perez-Torres.
"Peristiwa gangguan pasang surut tersebut dapat memberi kita kesempatan untuk belajar tentang pembentukan dan evolusi semburan di sekitar benda-benda kuat ini," tambahnya.
"Karena debu yang menyerap cahaya terlihat, peristiwa gangguan pasang surut tertentu ini mungkin hanya puncak gunung es dari apa yang sampai saat ini telah menjadi populasi tersembunyi," kata Mattila.
"Dengan mengamati peristiwa ini melalui teleskop inframerah dan radio, kita mungkin dapat menemukan lebih banyak lagi, dan belajar dari mereka," katanya.
Dalam penelitian itu, Mattila dan Perez-Torres memimpin 36 ilmuwan dari 26 institusi di seluruh dunia di observasi Arp 299. Hasil penelitian mereka telah terbit dalam jurnal Science pada edisi 14 Juni.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.