KOMPAS.com - Beberapa kasus bunuh diri yang terjadi belakangan menyadarkan kita bahwa makin banyak orang berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Apalagi setelah kasus bunuh diri desainer Kate Spade, koki Anthony Bourdain, dan adik ratu Belanda, Ines Zorreguieta.
Ternyata hal ini telah lama menjadi perhatian Centers for Disease Control (CDC) AS. Menurut laporan lembaga tersebut, semakin banyak orang melakukan tindakan bunuh diri, tidak hanya di Amerika tapi juga di seluruh dunia.
Dilansir dari VOA Indonesia, Minggu (10/06/2018), Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa setiap 40 detik, seseorang di dunia mengakhiri hidupnya.
Angka ini setara dengan 800.000 juwa setiap tahun yang kehilangan nyawa akibat bunuh diri.
Hal ini memunculkan pertanyaan, mengapa angka bunuh diri semakin meninggi?
Para peneliti mengajukan berbagai kemungkinan tentang peningkatan ini, mulai dari isolasi sosial hingga bullying.
Sayangnya, hal ini masih bersifat spekulatif.
"Sangat sulit membuat pernyataan luas tentang bunuh diri," ungkap Dr Katalin Szanto, profesor psikiatri di University of Pittsburgh dikutip dari Live Science, Sabtu (09/06/2018).
Baca juga: Mengapa Orang Sukses Nekat Mengakhiri Hidupnya? Ini Penjelasan Ahli
Laporan CDC menunjukkan bahwa kasus bunuh di AS sering berkaitan dengan bentuk kekerasan seperti bullying, kekerasan seksual, atau pelecehan anak.
Padahal, tingkat bentuk-bentuk kekerasan tersebut tidak meningkat dalam dua dekade terakhir.
Bisa Dicegah
Ini menjadi misteri mengapa angka bunuh diri kian meningkat. Meski alasannya belum jelas, namun upaya menghentikan atau mencegah tindakan bunuh diri dapat dilakukan.
Dalam sebuah studi yang dilakukan di Rumah Sakit Henry Ford, AS para dokter dan terapis menggunakan beberapa intervensi yang menurunkan 80 persen angka bunuh diri.
Salah satu metode yang digunakan dalam penelitian selama 10 tahun itu adalah meminta pasien depresi untuk membayangkan kematian.
Walaupun cara ini menunjukkan hasil yang signifikan, mengetahui akar masalah yang mendorong seseorang melakukan tindakan bunuh diri perlu dilakukan. Hal ini agar pasien memiliki pilihan pengobatan.
Satu temuan penting dalam laporan CDC terbaru adalah lebih dari separuh kasus bunuh diri terjadi di antara orang-orang yang tidak terdiagnosis penyakit mental.
Szanto menyebut bahwa pria mungkin sangat terpengaruh oleh masalah ini.
Pria Lebih Rentan
"Kami memiliki maslah besar ini, terutama di kalangan pria, mereka memiliki kondisi kesehatan mental yang tidak terdiagnosis dan jelas tidak diobati," ujar Szanto.
Baca juga: Ahli Duga Raibnya MH370 Upaya Bunuh Diri Sang Kapten
"Seringkali manifestasi depresi berbeda pada pria dibandingkan wanita. Kami cenderung sedikit lebih baik dalam penilaian klinis kami untuk mendiagnosis depresi pada wanita," sambungnya.
Hal ini bisa terjadi karena wanita cenedrung lebih baik dalam mencari bantuan. Sedangkan pada laki-laki mencari bantuan punya indikator kurang jelas.
Pengaruh Stigma
Susan Lindau, seorang terapis sekaligus profesor di University of Southern California menyebut ini terpengaruh oleh stigma tentang depresi.
Lindau mengatakan, orang masih tidak akan mencari bantuan jika mereka melihat stigma di sekitar depresi dan penyakit mental secara keseluruhan.
"Sangat berani untuk seseorang bisa mengatakan, 'Saya merasa tidak nyaman dan saya butuh bantuan'," kata Lindau.
"Itu karena Anda mengungkapkan kerentanan Anda. Budaya kita tidak benar-benar menghormati kerentanan," tegasnya.
Sama dengan Penyakit Kronis
Terapis yang mengkhususkan diri mempelajari tentang bunuh diri tersebut menambahkan, orang perlu memahami bahwa depresi dan penyakit mental lainnya dalah penyakit kronis seperti diabetes atau yang lain.
Pendapat senada juga diungkapkan oleh Paul Gionfrieddo, yang mengepalai Mental Health America.
"Tindakan bunuh diri adalah stadium empat untuk banyak orang yang menderita penyakit mental serius," ujarnya
Baca juga: Temuan Baru, Obat Bius Ketamine Bisa Cegah Keinginan Bunuh Diri
"Sejujurnya, ini juga stadium empat akhir, kejadian tahap akhir bagi banyak orang dengan berbagai macam penyakit kronis, yang bisa jadi tidak menderita penyakit mental," sambung Gionfrieddo.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.