KOMPAS.com -- Perundungan atau bullying, baik itu secara verbal maupun fisik, terus ada di sekolah hingga sekarang. Di Indonesia sendiri, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melaporkan bahwa sepanjang 2011-2016, ada 2.435 laporan kekerasan pada anak yang dilakukan di sekolah.
Sebuah studi terbaru dari tim peneliti gabungan internasional menunjukkan bahwa anak-anak yang menjadi korban perundungan memiliki kecenderungan untuk bunuh diri saat sudah remaja.
Temuan tersebut berdasarkan hasil pengamatan selama 15 tahun terhadap perkembangan 1.136 anak yang lahir pada tahun 1997 sampai 1998 dalam data studi jangka panjang di Quebec, Kanada.
Mereka mengamati laporan perundungan dari anak-anak berusia 6, 7, 8, 10, 12, dan 13 tahun. Jumlah anak perempuan sedikit lebih banyak daripada laki-laki, yakni 53 persen. Mereka pun berasal dari latar belakang sosial ekonomi, struktur keluarga yang berbeda.
Baca juga : Kekerasan Verbal Tak Selalu Makian atau Kata Kasar
Peneliti kemudian mengategorikan subyek penelitian menjadi beberapa kelompok, yakni bukan korban perundungan, korban ringan, dan korban parah.
Dalam pengamatan para ilmuwan yang dipublikasikan di Canadian Medical Association Journal, Senin (15/1/2018), keinginan untuk bunuh diri saat remaja salah satunya disebabkan oleh gangguan kesehatan mental yang berasal dari pengalaman masa kecil.
"Temuan kami menunjukkan ada sekitar 15 persen anak-anak yang menjadi korban parah akan kekerasan sejak awal di sekolah sampai transisi ke sekolah menengah atas," kata Dr Marie-Claude Geoffroy dari McGill Group untuk studi bunuh diri di McGill University, Montréal, Quebec, Kanada, dilansir dari Science Daily, Senin (15/1/2018).
"Anak-anak ini memiliki risiko lebih besar mengalami gejala depresi atau kecemasan hingga bunuh diri saat mereka remaja," sambungnya.
Studi yang dilakukan Geoffroy bersama rekan penelitiannya menemukan bahwa anak-anak yang pernah mengalami kekerasan parah dua kali lipat lebih mungkin memiliki gejala depresi saat mereka berusia berusia 15 tahun.
Mereka pun memiliki kemungkinan tiga kali lebih besar untuk mengalami kecemasan dan hampir 3,5 kali lebih mungkin untuk melaporkan keinginan bunuh diri dibanding anak-anak dalam kategori tidak pernah atau jarang mengalami kekerasan.
Lalu, sekitar 59 persen anak-anak mengalami kekerasan saat mereka masih duduk di bangku Sekolah Dasar dan rutinitas kekerasan terhadap teman cenderung menurun saat usia anak-anak bertambah.
"Meski begitu, mereka yang saat anak-anak menjadi korban kekerasan paling parah masih menjadi korban kekerasan tertinggi saat awal masa remaja," tulis para peneliti.
Baca juga : Apakah Anak akan Bercerita Jika Alami Kekerasan Seksual?
"Penelitian ini membuktikan bahwa kekerasan oleh teman sebaya dapat berkontribusi dalam perkembangan masalah kesehatan mental di masa remaja. Oleh sebab itu, penting untuk mencegah kekerasan yang parah saat masih anak-anak," ujar mereka dalam makalahnya.
Kekerasan pada anak, tragisnya, tak hanya terjadi di sekolah oleh teman-teman sebayanya. Ribuan anak juga mengalami kekerasan di rumah. Hal ini ditunjukkan dengan hukuman-hukuman yang diklaim bisa mendisiplinkan anak yang dilakukan oleh orangtua atau pengasuh mereka.
Seperti yang dilaporkan oleh Global Report 2017: Ending Violence in Childhood, kekerasan pada anak di rumah sudah dimulai sejak anak berusia 0 sampai 14 tahun. Hal ini meliputi kekerasan fisik dan kekerasan emosional.
Dalam data yang dimiliki KPAI sendiri, ada 4.294 kasus kekerasan pada anak yang dilakukan oleh keluarga dkan pengasuh sepanjang 2011-2016.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.