Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kabar Baik, Rasa Jijik Bantu Tubuh Terhindar dari Penyakit

Kompas.com - 05/06/2018, 11:34 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis


KOMPAS.com - Melihat sesuatu yang menjijikkan, seperti sesuatu yang berlendir atau makanan yang sudah berjamur kadang membuat kita merasa mual.

Namun jangan salah, para ahli mengungkap bahwa rasa jijik yang kita rasakan ternyata baik untuk tubuh.

Pasalnya, rasa jijik dianggap sebagai sebuah respons evolusioner yang dapat melindungi tubuh dari patogen dan infeksi lainnya.

Baca juga: Derita Penyakit Langka, Anjing Tekel Ini Membengkak Tiga Kali Lipat

"Rasa jijik sebenarnya adalah emosi yang muncul untuk melindungi tubuh dari penyakit atau infeksi. Ini adalah bagian dari evolusi yang sangat kuno," jelas peneliti pengendalian penyakit Val Curtis dari London School of Hygiene & Tropical Medicine, dilansir Science Alert, Senin (4/6/2018).

"Rasa jijik ketika melihat sesuatu menunjukkan emosi yang terstruktur, sehingga saat tubuh mengenali adanya "ancaman" maka tubuh dapat menanggapi ancaman lewat rasa jijik dan membuat kita tak menyentuh hal tersebut. Ini adalah respons untuk melindungi diri sendiri," imbuhnya.

Untuk menilai bentuk rasa jijik yang paling umum dari perspektif penghindaran penyakit, para ahli melakukan survei terhadap lebih dari 2.500 orang. Mereka diminta membayangkan dan menilai 75 kasus pada skala tidak ada rasa jijik sampai sangat menjijikkan.

Beberapa hal yang diminta untuk dinilai antara lain seperti meminjam deodoran orang lain, merasakan betuk orang lain tepat di wajah, dijilat oleh seekor anjing liar, satu ruangan dengan orang yang sedang mengalami infeksi mata, tidak sengaja menginjak siput dengan kaki telanjang, sampai duduk di sebelah orang yang muntah saat sedang melakukan perjalanan.

Dengan menganalisis tanggapan, Curtis dan timnya mampu mengidentifikasi enam kategori umum dari rasa jijik terkait dengan penyakit menular, sebagai berikut:

1. Kebersihan: menampilkan atau bukti fisik dari perilaku tidak higienis.

2. Hewan/serangga: seperti tikus dan nyamuk yang mewakili vektor penyakit.

3. Seks: perilaku yang berkaitan dengan aktivitas seksual tanpa banyak pilihan.

4. Penampilan atipikal: isyarat infeksi pada orang lain, termasuk bentuk tubuh abnormal, kelainan bentuk, perilaku seperti batuk, dan isyarat kontekstual terkait dengan risiko tinggi seperti tunawisma.

5. Lesi atau keadaan jaringan abnormal pada tubuh: rangsangan terkait tanda-tanda infeksi pada permukaan tubuh seperti melepuh, bisul, atau nanah.

6. Makanan: makanan yang menunjukkan tanda-tanda membusuk.

Dari hasil penelitian ini, peneliti mengatakan rasa jijik adalah indikator seseorang dapat menangkap vektor infeksi dari isyarat yang dilihat dan dirasakan di lingkungan biologis dan sosial sekitarnya.

"Tampaknya isyarat untuk ancaman penyakit menular terlalu abstrak, namun rasa jijik yang timbul karena sesuatu yang berhubungan dengan seks adalah tanda dari sesuatu yang harus dihindari," jelas para ahli dalam laporan yang terbit di Philosophical Transactions of the Royal Society B: Biological Sciences, Senin (4/6/2018).

"Ini termasuk benda-benda yang berpotensi terkontaminasi, seperti cairan tubuh, lesi yang terinfeksi, bahan makanan yang membusuk, dan hewan yang berpenyakit, dan orang-orang yang menunjukkan tanda-tanda penyakit atau kebersihan yang buruk," imbuh ahli.

Baca juga: Kabar Baik, Makan Telur Setiap Hari Turunkan Risiko Penyakit Jantung

Menariknya, hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan menilai semua enam kategori rangsangan penyakit lebih menjijikkan daripada peserta laki-laki.

Hal paling menjijikkan yang dirasakan oleh peserta perempuan adalah perilaku seksual yang berisiko dan hewan pembawa penyakit.

Para peneliti berspekulasi, enam kategori jijik ini mungkin dapat dirasakan spesies lain. Pasalnya, bukan hanya manusia yang sistem deteksi patogennya berevolusi.

"Meskipun kami hanya benar-benar memahami bagaimana penyakit menular pada abad ke-19, jelas dari hasil ini bahwa orang-orang memiliki perasaan intuitif tentang apa yang harus dihindari di lingkungan mereka," kata salah satu tim, psikolog evolusi Mícheál de Barra dari Brunel University London.

"Koevolusi panjang kita dengan penyakit telah 'terhubung' dengan perasaan intuitif ini tentang apa yang dapat menyebabkan infeksi."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau