KOMPAS.com - Tahun ajaran baru di sekolah ini baru saja dimulai pertengahan Mei lalu. Murid-muridnya pun tampak "antusias" mengikuti pelajaran dari guru-guru di sekolah yang terletak di Kalimantan Timur tersebut.
Inilah Orangutan Forest School - sebuah sekolah khusus yang bertujuan mendidik anak-anak orangutan yang kehilangan induknya dan menjadi korban industri kelapa sawit dan batubara.
Cuma ada delapan "murid" di sini, berusia antara 11 bulan dan 9 tahun. Mereka akan dididik untuk menguasai segala keterampilan yang kiranya diperlukan untuk bisa bertahan hidup di alam liar.
Sekolah ini dikelola oleh organisasi internasional penyayang binatang Four Paws, bekerja sama dengan mitra lokalnya Jejak Pulang dan Pemerintah Indonesia.
"Tujuan kami adalah melatih anak-anak orangutan ini sehingga dalam beberapa tahun, saat mereka sudah mencapai usia yang layak, mereka pun bisa kembali ke hutan alami dan hidup bebas di sana," jelas ahli primatologi Dr Signe Preuschoft dalam keterangannya kepada wartawan ABC Farid M. Ibrahim.
Kurikulumnya...
Kelompok murid pertama terdiri atas enam anak orangutan, yang setiap harinya pergi ke sekolah dari tempat tinggal mereka dengan menggunakan mobil yang oleh pengelola disebut sebagai "bus sekolah".
Di sekolah ini, mereka belajar dari ibu angkat mereka, yaitu para staf pengelola, mengenai keterampilan yang semestinya akan diajarkan ibu kandung orangutan ini.
Kedepalan murid ini, kata Dr Preuschoft, memang harus menyaksikan ibu mereka terbunuh, biasanya sebagai korban dari perkebunan kepala sawit atau industri kayu dan batubara.
Four Paws sendiri selama satu dekade terakhir telah bekerja merehabilitasi bayi-bayi orangutan Kalimantan yang mengalami trauma kehilangan induknya.
Baca juga: Orangutan Tapanuli Masuk 10 Besar Spesies Baru Tahun Ini
"Anak-anak ini perlu menghabiskan sebanyak mungkin waktu di lingkungan alamiah mereka," katanya.
Karena itu, kurikulum sekolah ini mencakup pelajaran memanjat, mencari makan, dan membuat tempat tidur.
Diketahui bahwa orangutan mampu mengidentifikasikan sekitar 4.000 item yang bisa mereka makan.
Karena tak ada induknya yang mengajari, maka para ibu angkatnyalah yang melatih mereka memilah makanan yang aman dan yang berbahaya mereka konsumsi dan bagaimana cara mendapatkannya.
Bulan Juni mendatang, jika tak ada aral melintang, murid-murid ini akan pindah ke tempat tinggal baru mereka di seberang sungai yang memisahkan lokasi sekolah.
Tidak satu kelas
Namun tak semua murid "duduk" di kelas yang sama. Pasalnya, mereka harus didukung sesuai perkembangannya masing-masing.
Bayi orangutan bernama Gonda yang tiba di sekolah itu pada usia delapan bulan, misalnya, harus belajar berayun dan bergelantungan sebagaimana yang dilakukan orangutan.
"Gonda sudah belajar memanjat pohon. Kini dia bisa bergelantungan dengan kepala di bawah dan berpegangan di dahan dengan kedua kakinya," tutur Dr Preuschoft.
Teman Gonda bernama Tegar yang baru berusia empat bulan, kini juga mulai lincah. Ia sudah bisa memegangi beberapa dahan bersama lalu menjangkau dahan berikutnya sembari menjaga keseimbangan tubuh.
"Gonda memang masih harus banyak berlatih sampai ia benar-benar mengusai keterampilan tersebut," katanya.
Baca juga: Kenapa Orangutan di Penangkaran Lebih Cerdas daripada di Alam?
Sementara bayi Cantik (3,5 tahun) dan Eska (5 tahun) sudah bisa berlatih saling kejar dan bergulat di pucuk-pucuk pepohonan.
"Itu keterampilan yang dipelajarinya. Sebab, untuk bisa melakukan hal ini, orangutan harus mempertimbangkan berat rekannya terhadap goyangan dahan dan ranting pohon," jelas Dr Preuschoft.
Dua bayi orangutan pendatang baru, Gerhana (11 bulan) dan Kartini (18 bulan) hingga kini masih terus diasuh ibu angkat mereka saat bayi-bayi ini bersosialisasi di "taman kanak-kanak" dengan sesamanya bayi orangutan lainnya.
Setelah Tamat Sekolah
Bayi orangutan yatim piatu pertama-tama memang harus diasuh ibu angkat mereka, yaitu para pengelola sekolah. Ini dilakukan demi bisa mencontoh pengalaman yang didapatkan bayi orangutan ketika diasuh induknya sendiri.
Sejak usia dua tahun, bayi itu pun menjadi murid Forest School. Dan sejalan dengan peningkatan kemampuannya, mereka kian menunjukkan naluri petualangan dan kebebasannya.
"Saat mereka mencapai 'akil baligh', sudah waktunya bagi mereka lulus dan masuk ke apa yang kami namakan Forest Academy," kata Dr Preuschoft.
Tim Four Paws yang akan memutuskan kapan murid-murid orangutan ini bisa dilepasliarkan ke alam liar.
"Secara umum orangutan mencapai fase dimana mereka ingin bebas pada usia sembilan tahun," jelas Dr Preuschoft.
"Saat itulah kami akan mengenalkan mereka kembali ke wilayah hutan. Meski mereka masih dalam pengawasan dan perlindungan, namun mereka sudah berada di lingkungan yang bisa mereka jelajahi sendiri," katanya.
"Jika tak ada aral melintang, mereka kemudian bisa menjalani kehidupannya sendiri secara bebas," tambahnya.
Baca juga: Penebangan Hutan dan Perburuan Bunuh 100.000 Orangutan Kalimantan
Masalahnya, hutan Kalimantan yang menjadi habitat orangutan telah banyak dirusak secara masif oleh berbagai industri.
Menurut World Wildlife Fund (WWF), Pemerintah Indonesia telah menetapkan target produksi minyak sawit dari 20 juta ton di tahun 2009 menjadi 40 juta ton tahun 2020.
Diperkirakan hingga 3000 orangutan terbunuh setiap tahun karena dianggap sebagai hama yang mencuri di kebun-kebun sawit.
Sebagian orang juga membunuh mereka untuk dimakan. Bayi-bayi orangutan ini pun menjadi yatim piatu.
"Orangutan Borneo termasuk salah satu spesies yang paling terancam punah," ujar Dr Preuschoft.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.