Selain Darwin, bacaan buku saya saat awal kuliah adalah Stephen Hawking, Richard Dawkins, Jared Diamond, atau pun Matt Ridley.
Saya melihat dunia sebagai sekumpulan materi yang bergerak tanpa tujuan. Semua perubahan dalam alam semesta ini terjadi karena terikat dengan hukum alam.
Saya pun mulai berpikiran tertutup dan menjadikan sains sebagai dogma dan agama. Padahal sains bukanlah kebenaran yang menetap, dia adalah sesuatu yang bergerak karena kesalahan. Sains hanya menjelaskan “apa” dan “bagaimana”, tapi tidak menjelaskan “mengapa”.
Evolusi menjelaskan bahwa keanekaragaman mahluk hidup terjadi karena mutasi (perubahan) gen mahluk hidup yang terjadi secara “kebetulan” (by chance) dan kemudian berjalan selaras dengan perubahan alam. Perubahan dan adaptasi menyebabkan mahluk hidup sintas dan menciptakan jenis mahluk hidup baru.
Namun evolusi tidak menjelaskan mengapa gen, molekul kimia yang bisa menggandakan diri, bisa tiba-tiba ada di dunia ini?
Kita bisa mengatakan itu kebetulan, namun sebagai Muslim, adalah sah bagi kita untuk mengatakan Allah adalah penggerak utama (causa prima) dari hukum alam. Yang Awal dan Yang akhir.
Bapak pun kembali mengambil peran dalam pemikiran saya. Di masa akhir kuliah, saat saya pulang ke rumah, Bapak bertanya:
“Na, kon’ kan belajar biologi. Sekarang Bapak mau tanya nih, kenapa seluruh batang pohon di dunia berbentuk silinder, bukan limas ataupun balok,?
Saya tidak bisa menjawabnya. Namun saya belajar hal yang luar biasa dari Bapak sebagai seorang Muslim: bahwasanya kecintaan terhadap alam, mengamatinya dan mencatatnya dengan sistematis, menelaahnya dengan kritis dan berpikiran terbuka adalah sikap yang seharusnya dimiliki seorang Muslim. Dan Bapak tidak mempelajari semua ini di universitas, melainkan dari Al Qur’an yang di bacanya setiap hari di rumah.
Al Qur’an mengandung banyak ayat-ayat yang mengingatkan setiap Muslim untuk menggunakan intelektualitasnya dalam memandang sesuatu.
Sebuah kalimat tanya, afala ta’qilun yang berarti “apakah kamu tidak berpikir?” (don’t you think?)” disebutkan berkali-kali dalam Al Qur’an.
Menurut cendikiawan Muslim, kalimat tanya negatif ini bukan sekedar sebuah pertanyaan, tetapi juga sebuah kalimat tantangan dan motivasi bagi pembaca.
Ini adalah sisi Al Qur’an yang jarang muncul dalam keseharian banyak Muslim zaman sekarang.
Di Indonesia, Al Qur’an saat ini lebih banyak dikaitkan dengan urusan politik.
Saya tidak punya kapasitas pengetahuan mengenai Islam dan politik sehingga saya tidak akan berkomentar tentangnya.
Namun yang saya yakini adalah setiap ayat Al Qur’an mempunyai hakikat kebenaran yang setara.
Surat An Nuur ayat 41 yang menginspirasi Bapak untuk mempelajari aerodinamika burung sama kedudukannya dengan surat-surat lain yang mungkin menggerarakkan puluhan ribu orang di Jakarta di acara 212.
Saya pun bertanya-tanya, apakah massa 212 ingin juga bergerak untuk March for Science tahun depan di Jakarta?
Baca juga: Ilmuwan Indonesia, Akankah Selamanya Menjadi Ali?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.