Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Islam yang Saya Temukan berkat Bapak dan Sains, Seperti Apa Islammu?

Oleh Dyna Rochmyaningsih

KOMPAS.com - Alam semesta berbicara kepada kita tentang keberadaan Allah dan Allah meminta kita untuk mendengarkan isyarat mereka.

Mungkin itulah kesimpulan pandangan saya sebagai seorang Muslim yang sangat menyukai sains alam.

Pandangan ini saya warisi dari ayah saya, seseorang yang saya panggil Bapak. Meskipun pandangan hidup kami saat ini tidak mutlak sama, Bapak adalah orang pertama yang mengajarkan saya tentang Islam dan sains.

Baginya, keduanya adalah satu kesatuan tak terpisahkan.

Ketika saya kecil, ada beberapa momen di mana saya menonton televisi bersama Bapak. Salah satu cara favorit kami adalah film dokumenter yang menyuguhkan keindahan alam dan keanekaragaman hayati di dunia.

Saya masih ingat salah satu episode yang memperlihatkan beragam ikan berwarna warni di terumbu karang. Sungguh cantik dan memukau. Dan Bapak pun berseru:

“Subhanallah, cantik bener dih! Itu siapa ya yang “ngecat”? siapa yang gambar motifnya?”,

Sebelum saya menjawab, Bapak pun menjawab sendiri, “Allah…”

Ya, Bapak saya adalah seorang creationist. Dia menganggap beragam warna dan bentuk seluruh hewan di bumi adalah intelligent design Sang Pencipta.

Saya yang masih anak-anak tentu tidak paham bahwa apa yang dia katakan adalah kreasionisme. Namun yang saya pelajari adalah penting bagi kita untuk melakukan observasi terhadap alam semesta untuk mengasah keimanan kita sebagai Muslim.

Terkadang saya pun melihat setitik air mata haru ketika Bapak berkata “Allah hebat ya,..” Air mata itu mengajarkan saya tentang sense of wonder, sebuah perasaan yang dirasakan para filsuf dan ilmuwan di sepanjang sejarah dunia.

Mungkin itu juga perasaan Nabi Ibrahim ketika dia mendapati bahwa Tuhan adalah sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih agung daripada Matahari dan Bulan.

Ketika saya beranjak remaja, Bapak mulai banyak bercerita mengenai ketertarikannya mengamati alam semesta.

Selain kreasionis, Bapak juga seorang citizen scientist. Tidak hanya sekedar “berbicara”, namun Bapak juga melakukan eksperimen-eksperimen dari ide yang ada di kepalanya.

Sebuah buku harian Bapak dari tahun 1985 memperlihatkan bagaimana Surat An Nuur ayat 41 menginspirasinya untuk mempelajari aerodinamika burung dan capung.

Bapak mengukur panjang sayap, lebar badan, sudut antara ekor dan sayap, dari binatang yang ditangkapnya.

Pendidikan terakhir Bapak adalah STM Bangunan dan dia melakukan penelitian ini sendiri berbekal buku-buku di perpustakaan.

Dia juga seorang teknisi piano, bukan seorang ilmuwan yang mengejar publikasi penelitian. Kalau bukan karena kepatuhannya dalam melaksanakan perintah Allah yang tertera pada surat An Nuur, Bapak mungkin tidak akan repot-repot melakukan ini semua.
 
Bapak (Susdiarto) mencatat pengamatannya dalam buku harian (jurnal) seperti para naturalis Eropa di abad 19.

Ketika saya dan saudara-saudara kandung saya memasuki dunia perkuliahan, rumah kami mulai dipenuhi dengan diskusi dan perdebatan dengan Bapak.

Mungkin sedari kecil kami sudah melihat kebiasaan Bapak membaca buku dan mengkomunikasikan pendapatnya di rumah.

Sepertinya ini secara tidak langsung menginspirasi kami untuk tidak segan-segan berpendapat tentang segala hal termasuk soal ilmu alam dan sosial. Walaupun kami terdengar “ribut” saat berdebat, kami tetap saling menyayangi sebagai keluarga dan saling menghargai pendapat masing-masing.

Bacaan buku kami pun mulai merambah luas namun Bapak tidak pernah membatasinya. Sembari terus mengingatkan kami untuk terus sholat dan membaca Al Qur’an, Bapak membiarkan kami menjelajah semesta pengetahuan.  

Saya ingat ketika pulang sekolah saya berbicara pada Bapak bahwa keanekaragaman mahluk hidup disebabkan oleh proses evolusi yang berlangsung jutaan hidup lamanya bukan karena intelligent design Sang Pencipta.

Apakah Bapak marah?

Tidak. Dia hanya berkata, “Salah besar, Kon,”dengan aksen Tegalnya, lalu dia melanjutkan perdebatan untuk mematahkan pernyataan saya.

Jika Bapak berpikiran tertutup, mungkin dia sudah memarahi saya habis-habisan karena menyinggung kepercayaannya. Dia juga mungkin sudah membakar atau membuang semua buku-buku kami. Namun semua itu tidak dia lakukan.

Ketika dia melihat buku The Origin of Species di lemari buku, dia pun hanya mengambilnya dan berkata dengan canda, “Bukunya Dyna nih,…. si Darwin slompret,” Setelah itu dia kembalikan lagi ke lemari.

Dalam perjalanan pemikiran saya, kesombongan masa muda pernah menggoda saya untuk berhenti di ateisme.

Meskipun saya tetap melakukan sholat dan ibadah lainnya, pandangan saya terhadap dunia sangatlah materialistik.

Selain Darwin, bacaan buku saya saat awal kuliah adalah Stephen Hawking, Richard Dawkins, Jared Diamond, atau pun Matt Ridley.

Saya melihat dunia sebagai sekumpulan materi  yang bergerak tanpa tujuan. Semua perubahan dalam alam semesta ini terjadi karena terikat dengan hukum alam.

Saya pun mulai berpikiran tertutup dan menjadikan sains sebagai dogma dan agama. Padahal sains bukanlah kebenaran yang menetap, dia adalah sesuatu yang bergerak karena kesalahan. Sains hanya menjelaskan “apa” dan “bagaimana”, tapi tidak menjelaskan “mengapa”.

Evolusi menjelaskan bahwa keanekaragaman mahluk hidup terjadi karena mutasi (perubahan) gen mahluk hidup yang terjadi secara “kebetulan” (by chance) dan kemudian berjalan selaras dengan perubahan alam. Perubahan dan adaptasi menyebabkan mahluk hidup sintas dan menciptakan jenis mahluk hidup baru.

Namun evolusi tidak menjelaskan mengapa gen, molekul kimia yang bisa menggandakan diri, bisa tiba-tiba ada di dunia ini?

Kita bisa mengatakan itu kebetulan, namun sebagai Muslim, adalah sah bagi kita untuk mengatakan Allah adalah penggerak utama (causa prima) dari hukum alam. Yang Awal dan Yang akhir.

Bapak pun kembali mengambil peran dalam pemikiran saya. Di masa akhir kuliah, saat saya pulang ke rumah, Bapak bertanya:

“Na, kon’ kan belajar biologi. Sekarang Bapak mau tanya nih, kenapa seluruh batang pohon di dunia berbentuk silinder, bukan limas ataupun balok,?

Saya tidak bisa menjawabnya. Namun saya belajar hal yang luar biasa dari Bapak sebagai seorang Muslim: bahwasanya kecintaan terhadap alam, mengamatinya dan mencatatnya dengan sistematis, menelaahnya dengan kritis dan berpikiran terbuka adalah sikap yang seharusnya dimiliki seorang Muslim. Dan Bapak tidak mempelajari semua ini di universitas, melainkan dari  Al Qur’an yang di bacanya setiap hari di rumah.

Al Qur’an mengandung banyak ayat-ayat yang mengingatkan setiap Muslim untuk menggunakan intelektualitasnya dalam memandang sesuatu.

Sebuah kalimat tanya, afala ta’qilun yang berarti “apakah kamu tidak berpikir?” (don’t you think?)” disebutkan berkali-kali dalam Al Qur’an.

Menurut cendikiawan Muslim, kalimat tanya negatif ini bukan sekedar sebuah pertanyaan, tetapi juga sebuah kalimat tantangan dan motivasi bagi pembaca.

Ini adalah sisi Al Qur’an yang jarang muncul dalam keseharian banyak Muslim zaman sekarang.

Di Indonesia, Al Qur’an saat ini lebih banyak dikaitkan dengan urusan politik.

Saya tidak punya kapasitas pengetahuan mengenai Islam dan politik sehingga saya tidak akan berkomentar tentangnya.

Namun yang saya yakini adalah setiap ayat Al Qur’an mempunyai hakikat kebenaran yang setara.

Surat An Nuur ayat 41 yang menginspirasi Bapak untuk mempelajari aerodinamika burung sama kedudukannya dengan surat-surat lain yang mungkin menggerarakkan puluhan ribu orang di Jakarta di acara 212.

Saya pun bertanya-tanya, apakah massa 212 ingin juga bergerak untuk March for Science tahun depan di Jakarta?

https://sains.kompas.com/read/2018/05/25/200000123/islam-yang-saya-temukan-berkat-bapak-dan-sains-seperti-apa-islammu-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke