Menentukan hilal
Ma'rufin menjelaskan, data rukyat hilal umumnya memiliki kekhasan dan pola matematis yang sama.
Data RHI memperlihatkan, hilal didefinisikan sebagai bulan yang muncul saat matahari terbenam pasca konjungsi, di mana perbedaan tinggi antara bulan dan matahari sekitar 5,4 derajat (beda azimuth bulan dan matahari 5 derajat) sampai 10,4 derajat (beda azimuth 0 derajat). Dalam posisi ini, sabit bulan dapat ditangkap teleskop.
Bila data ini dibandingkan dengan data rukyat mancanegara, misalnya dari Baitul Hilal Teluk Kemang, Malaysia atau data ICOP yang berasal dari kawasan tropis, terlihat bahwa data RHI konsisten dan dapat digunakan sebagai penanda.
Lag atau selisih waktu terbenamnya matahari dengan waktu terbenamnya bulan juga dapat menunjukkan status hilal. Hal itu terjadi saat lag antara +24 hingga +40 menit ketika matahari terbenam. Ini adalah batasan tegas yang membedakan hilal dengan status bulan lain.
Saat lag +24 menit, maka cahaya bulan akan tertutup cahaya matahari yang sedang terbenam. Jadi, istilah tertutupi yang disebut dalam hadis Nabi SAW sebenarnya bukan tertutupi awan, melainkan dalam hal ini cahaya bulan tertutup cahaya matahari.
Hal ini sekaligus menjawab persoalan apakah cuaca buruk sepanjang waktu yang kerap terjadi di Indonesia membuat penetapan Ramadhan maupun hari raya akan mundur sehari ataukah tidak.
Pada akhirnya, jalan panjang telah terbentang dan masih harus dilalui untuk menyingkap rahasia hilal yang lebih mendalam lagi. Namun, beberapa ciri khasnya sudah bisa diterapkan untuk menentukan Ramadhan.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan