Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Lika-liku Para Perukyat Menyingkap Hilal

Hal ini dilakukan oleh para astronom dan perukyat di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Semakin berkembangnya zaman dan kemajuan teknologi, tugas perukyat menjadi lebih mudah.

Muh. Ma'rufin Sudibyo dalam tulisannya di Kompas.com pada 2013 menyebut, hadirnya teleskop dengan penyangga otomatis untuk mengarahkan langsung ke posisi bulan dapat membantu aktivitas rukyat (pengamatan visibilitas hilal) lebih mudah.

Kehadiran teleskop tak lagi membuat para perukyat disibukkan dengan pengelolaan instrumen teknis yang detail, sehingga perukyat hanya fokus mengamati bidang langit yang disasar teleskop.

Meski dimudahkan teknologi, bukan berarti aktivitas rukyat tanpa halangan. Beberapa kendala dipengaruhi juga oleh alam.

Pertama, bulan yang tidak selalu berada dalam status hilal. Sebagai catatan, dalam satu tahun Masehi terdapat 12 sampai 13 konjungsi, yang artinya rukyaat hilal bisa terselenggara 12 sampai 13 kali dalam setahun.

Kedua, hilal memiliki pasangan yang disebut hilal tua. Sebagai pasangan hilal, hilal tua memiliki bentuk yang mirip dengan hilal. Hanya saja, ia terbit di pagi hari jelang matahari terbit sebelum konjungsi. Hilal tua ini tidak berimplikasi pada hukum syar'i sebagaimana hilal, namun dalam dunia astronomis sama pentingnya.

Jika hilal tua diperhitungkan, maka dalam setahun idealnya rukyat dapat terselenggara 24 hingga 26 kali. Bagi negara seperti Indonesia dengan musim hujan selama empat bulan dalam setahun, maka jumlah itu hanya tinggal 16 sampai 17 rukyat per tahun.

Saat terjadi anomali cuaca yang menyebabkan kemarau bersifat basah, jumlah rukyat otomatis akan berkurang.

Menurut Ma'rufin, satu-satunya cara untuk mengatasi kendala alamiah itu adalah dengan menyebar titik-titik rukyat hilal ke segenap penjuru, tak hanya bertumpu pada satu titik.

Upaya memperoleh data rukyat hilal yang sahih

Banyaknya kendala tak menghalangi para perukyat dari Indonesia dan mancanegara untuk memperoleh data rukyat hilal yang sahih dan dapat dipercaya.

Di Indonesia, upaya ini salah satunya dilakukan oleh jejaring RHI, yang bernaung di bawah Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Falak Rukyatul Hilal Indonesia (LP2IF RHI).

Jejaring mandiri yang tidak bekerja sama dengan organisasi apapun itu telah melakukan pemantauan rukyat hilal dan hilal tua sesuai kaidah astronomi sejak 2007. Ma'rufin menyebut kegiatan ini tak hanya dilakukan jelang Ramadhan atau hari raya saja.
 
Selain jejaring RHI, Observatorium Bosscha yang ada di Lembang, Bandung, juga melaksanakan hal serupa sejak 2008 di berbagai titik segenap penjuru Indonesia. Namun, kegiatan ini dilakukan saat menjelang Ramadhan dan hari raya saja.

Di mancanegara, upaya serupa digelar ICOP, yang berada di bawah naungan AUASS (Arab Union for Astronomy and Space Sciences) dan JAS (Jordanian Astronomical Society). Pengamatan ICOP sudah dilakukan sejak 1998, dan mengumpulkan 737 data rukyat dari Arab, Asia Tenggara, Eropa, dan AS sampai 2013.

Satu dekade sebelum ICOP, Bradley Schaefer (AS) telah menginisiasi Moonwatch Campaign dalam lima kesempatan berbeda di kawasan Amerika Utara yang melibatkan lebih dari 2.000 perukyat. Mereka berhasil mengumpulkan 294 data.

Semua data yang berhasil dikumpulkan oleh masing-masing pihak kemudian diakumulasi. Sayang, hasilnya masih tergolong kecil dibanding pengamatan benda langit selain hilal.

Sebagai contoh, pengamatan asteroid 2012 DA14 yang melintasi bumi pada 15 Februari 2013 dengan jarak 27.700 kilometer.

Sejak ditemukan pada Februari 2012, para pemburu asteroid berlomba-lomba mengarahkan teleskopnya membidik asteroid ini selama setahun dan berhasil mengumpulkan 1.068 data pengamatan. Padahal, pengamatan asteroid lebih sulit dibanding rukyat hilal.

Ma'rufin sendiri mempertanyakan mengapa pengumpulan data asteroid dengan rukyat hilal sangat jauh perbedaannya.

Menentukan hilal

Ma'rufin menjelaskan, data rukyat hilal umumnya memiliki kekhasan dan pola matematis yang sama.

Data RHI memperlihatkan, hilal didefinisikan sebagai bulan yang muncul saat matahari terbenam pasca konjungsi, di mana perbedaan tinggi antara bulan dan matahari sekitar 5,4 derajat (beda azimuth bulan dan matahari 5 derajat) sampai 10,4 derajat (beda azimuth 0 derajat). Dalam posisi ini, sabit bulan dapat ditangkap teleskop.

Bila data ini dibandingkan dengan data rukyat mancanegara, misalnya dari Baitul Hilal Teluk Kemang, Malaysia atau data ICOP yang berasal dari kawasan tropis, terlihat bahwa data RHI konsisten dan dapat digunakan sebagai penanda.

Lag atau selisih waktu terbenamnya matahari dengan waktu terbenamnya bulan juga dapat menunjukkan status hilal. Hal itu terjadi saat lag antara +24 hingga +40 menit ketika matahari terbenam. Ini adalah batasan tegas yang membedakan hilal dengan status bulan lain.

Saat lag +24 menit, maka cahaya bulan akan tertutup cahaya matahari yang sedang terbenam. Jadi, istilah tertutupi yang disebut dalam hadis Nabi SAW sebenarnya bukan tertutupi awan, melainkan dalam hal ini cahaya bulan tertutup cahaya matahari.

Hal ini sekaligus menjawab persoalan apakah cuaca buruk sepanjang waktu yang kerap terjadi di Indonesia membuat penetapan Ramadhan maupun hari raya akan mundur sehari ataukah tidak.

Pada akhirnya, jalan panjang telah terbentang dan masih harus dilalui untuk menyingkap rahasia hilal yang lebih mendalam lagi. Namun, beberapa ciri khasnya sudah bisa diterapkan untuk menentukan Ramadhan.

https://sains.kompas.com/read/2018/05/17/040300523/lika-liku-para-perukyat-menyingkap-hilal

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke