Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 17/05/2018, 04:03 WIB
Gloria Setyvani Putri,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi


KOMPAS.com - Dalam menentukan awal Ramadhan dan hari raya umat muslim lain di Indonesia, hal yang perlu dilakukan adalah melihat kemunculan hilal di langit. Hilal adalah penampakan bulan sabit yang pertama kali setelah terjadinya ijtimak atau konjungsi.

Hal ini dilakukan oleh para astronom dan perukyat di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Semakin berkembangnya zaman dan kemajuan teknologi, tugas perukyat menjadi lebih mudah.

Muh. Ma'rufin Sudibyo dalam tulisannya di Kompas.com pada 2013 menyebut, hadirnya teleskop dengan penyangga otomatis untuk mengarahkan langsung ke posisi bulan dapat membantu aktivitas rukyat (pengamatan visibilitas hilal) lebih mudah.

Kehadiran teleskop tak lagi membuat para perukyat disibukkan dengan pengelolaan instrumen teknis yang detail, sehingga perukyat hanya fokus mengamati bidang langit yang disasar teleskop.

Baca juga: Bulan Terlalu Rendah, Sidang Isbat Mungkin Putuskan Awal Ramadhan 17 Mei

Meski dimudahkan teknologi, bukan berarti aktivitas rukyat tanpa halangan. Beberapa kendala dipengaruhi juga oleh alam.

Pertama, bulan yang tidak selalu berada dalam status hilal. Sebagai catatan, dalam satu tahun Masehi terdapat 12 sampai 13 konjungsi, yang artinya rukyaat hilal bisa terselenggara 12 sampai 13 kali dalam setahun.

Kedua, hilal memiliki pasangan yang disebut hilal tua. Sebagai pasangan hilal, hilal tua memiliki bentuk yang mirip dengan hilal. Hanya saja, ia terbit di pagi hari jelang matahari terbit sebelum konjungsi. Hilal tua ini tidak berimplikasi pada hukum syar'i sebagaimana hilal, namun dalam dunia astronomis sama pentingnya.

Jika hilal tua diperhitungkan, maka dalam setahun idealnya rukyat dapat terselenggara 24 hingga 26 kali. Bagi negara seperti Indonesia dengan musim hujan selama empat bulan dalam setahun, maka jumlah itu hanya tinggal 16 sampai 17 rukyat per tahun.

Saat terjadi anomali cuaca yang menyebabkan kemarau bersifat basah, jumlah rukyat otomatis akan berkurang.

Menurut Ma'rufin, satu-satunya cara untuk mengatasi kendala alamiah itu adalah dengan menyebar titik-titik rukyat hilal ke segenap penjuru, tak hanya bertumpu pada satu titik.

Baca juga: Hilal Di Bawah Ufuk, Apa Artinya dalam Penentuan Awal bulan Puasa?

Upaya memperoleh data rukyat hilal yang sahih

Banyaknya kendala tak menghalangi para perukyat dari Indonesia dan mancanegara untuk memperoleh data rukyat hilal yang sahih dan dapat dipercaya.

Di Indonesia, upaya ini salah satunya dilakukan oleh jejaring RHI, yang bernaung di bawah Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ilmu Falak Rukyatul Hilal Indonesia (LP2IF RHI).

Jejaring mandiri yang tidak bekerja sama dengan organisasi apapun itu telah melakukan pemantauan rukyat hilal dan hilal tua sesuai kaidah astronomi sejak 2007. Ma'rufin menyebut kegiatan ini tak hanya dilakukan jelang Ramadhan atau hari raya saja.
 
Selain jejaring RHI, Observatorium Bosscha yang ada di Lembang, Bandung, juga melaksanakan hal serupa sejak 2008 di berbagai titik segenap penjuru Indonesia. Namun, kegiatan ini dilakukan saat menjelang Ramadhan dan hari raya saja.

Di mancanegara, upaya serupa digelar ICOP, yang berada di bawah naungan AUASS (Arab Union for Astronomy and Space Sciences) dan JAS (Jordanian Astronomical Society). Pengamatan ICOP sudah dilakukan sejak 1998, dan mengumpulkan 737 data rukyat dari Arab, Asia Tenggara, Eropa, dan AS sampai 2013.

Baca juga: Rupanya Ada yang Disebut Hilal Tua dan Muda, Apa Bedanya?

Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau