KOMPAS.com - 6 Agustus 1945 menjadi hari paling bersejarah di dunia. Saat itu, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima, Jepang. Sekitar 80 persen wilayah hancur dan menewaskan 45.000 jiwa.
Lebih dari 20 tahun berlalu, peneliti menemukan tulang rahang salah satu korban ledakan bom Hiroshima yang berjarak kurang lebih 1,5 kilometer dari hiposenter bom pada 1970-an.
Bagi kaum ilmuwan dan dunia sains, ini adalah temuan penting untuk mengetahui seberapa besar radiasi yang diserap tulang para korban bom.
Analisis yang terbit di jurnal PLOS One (6/2/2018) menunjukkan, dosis radiasi pada tulang rahang sekitar 9,46 gray (Gy). Gy adalah penyerapan satu joule energi radiasi per kilogram materi, yang dalam hal ini adalah tulang.
Baca juga : Memprediksi Efek Uji Coba Bom Hidrogen Korut di Samudra Pasifik
"Bila tubuh terkena radiasi setengahnya saja, atau 5 Gy, sebenarnya risikonya sudah sangat fatal," kata Oswaldo Baffa, profesor di University of São Paulo's Ribeirão Preto School of Philosophy, Science & Letters, dalam sebuah pernyataan dilansir Live Science, Selasa (1/5/2018).
Tulang korban sebagai dosimeter
Temuan sebelumnya telah melihat bagaimana paparan radiasi nuklir yang berisi debu radioaktif dapat memengaruhi DNA dan kesehatan manusia.
Berbeda dari itu, ini adalah kali pertama penelitian yang menggunakan tulang korban sebagai dosimeter atau alat untuk mengukur dosis radiasi pengion yang diserap. Radiasi pengion adalah radiasi yang dapat menimbulkan ionisasi secara langsung.
Mereka menggunakan teknik yang disebut electron spin resonance (ESR). Menurut para ilmuwan ini adalah metode tepat yang dapat mengukur dosis radiasi dalam peristiwa nuklir di masa depan.
"Ada minat baru dalam metodologi semacam ini karena risiko serangan teroris di negara-negara seperti Amerika Serikat," ujar Baffa.
"Teknik ini dapat mengidentifikasi siapa yang terkena dampak radioaktif dan membutuhkan perawatan jika terjadi serangan nuklir," imbuhnya.
Penelitian sepanjang dekade
Sekitar 1970-an, ilmuwan senior Sérgio Mascarenhas yang saat itu adalah seorang fisikawan di University of São Paulo's São Carlos Physics Institute menemukan, iradiasi sinar X dan sinar gamma membuat tulang manusia agak bermagnet.
Fenomena ini disebut paramagnetisme, karena tulang manusia mengandung mineral hydroxyapatite.
Saat tulang teradiasi akan menghasilkan CO2 yang muncul di hidroksiapatit. Radikal bebas yang dihasilkan itu kemudian dipakai sebagai penanda dosis radiasi dalam tulang.
Mascarenhas awalnya mengira temuannya ini hanya akan digunakan para arkeolog untuk melakukan penanggalan tulang kuno.
Pada 1972, Mascarenhas tiba di Jepang dan mendapat tulang rahang korban ledakan Hiroshima. Ia pun menggunakan metode temuannya untuk meneliti tulang tersebut.
"Mereka memberi saya tulang rahang dan saya memutuskan untuk mengukur seberapa parah radiasinya di Universitas Hiroshima. Saya perlu membuktikan secara eksperimental bahwa temuan saya asli," ujar Mascarenhas dalam sebuah pernyataan.
Meski analisisnya belum sempurna karena keterbatasan teknologi yang tidak dapat memisahkan sinyal asing dengan sinyal yang diinduksi bom atom, ia mempresentasikan hasil temuannya dalam pertemuan tahunan American Physical Society di Washington, D.C. pada 1973.
Setelah itu Mascarenhas diizinkan untuk membawa pulang tulang rahang itu dan menyimpannya.
Analisis baru
Berkat kemajuan teknologi, para peneliti dapat memisahkan sinyal asing dosis radiasi dari serangan nuklir.
"Sinyal asing adalah garis luas yang dapat dihasilkan oleh berbagai hal berbeda dan tidak memiliki tanda khusus," ujar Baffa.
"Sinyal dosimetri adalah spektral. Setiap radikal bebas beresonansi pada titik spektrum tertentu saat terkena medan magnet," imbuhnya.
Baca juga : Mengapa Masih Ada Orang yang Melakukan Bom Bunuh Diri? Sains Jelaskan
Saat As menjatuhkan bom atom, ledakannya sekitar 580 meter di atas Hiroshima. Sedangkan tulang rahang ini ditemukan sejauh 1,5 kilometer dari hiposenter bom.
Untuk mempelajari tulang, para peneliti mengeluarkan potongan kecil yang digunakan dalam penelitian sebelumnya dan melakukan penyinaran di laboratorium. Proses ini dikenal sebagai metode dosis tambahan.
"Kami menambahkan radiasi ke material dan mengukur kenaikan sinyal dosimetrik agar mampu mengukur sampel lain termasuk bagian berbeda dari tulang rahang," jelas Baffa.
Teknik ini memungkinkan peneliti untuk menentukan dosis radiasi yang diterima tulang, dengan distribusi dosis yang ditemukan di sekitar Hiroshima, termasuk batu bata dinding dan genteng.
"Pengukuran yang kami peroleh dalam studi terbaru ini lebih dapat diandalkan dan lebih terkini daripada temuan awal. Namun, saya masih mengevaluasi metodologi yang seribu kali lebih detail dari ESR. Akan kami kabarkan dalam beberapa bulan lagi," ujar Mascarenhas.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.