Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sudijanto Kamso
Guru Besar Fak Kesehatan Masyarakat UI

Guru Besar Kesehatan Masyarakat pada Fak Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Bom Waktu Sindrom Metabolik dan Harapan untuk BPJS Kesehatan

Kompas.com - 02/02/2018, 20:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

PADA saat ini masyarakat kita cukup disibukan dengan isu-isu seputar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial  (BPJS) Kesehatan. Berbagai berita beredar di masyarakat yang sebagian masih perlu diverifikasi lagi.

Mulai dari 8 penyakit katastropik yang tidak akan dibiayai lagi oleh BPJS (sudah dibantah pihak BPJS), iuran peserta yang perlu ditingkatkan sampai berita-berita kemungkinan collapse-nya BPJS.

Sebelumnya, Kompas.com memberitakan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terus mencari jalan untuk mengatasi defisit keuangan. Salah satu caranya yakni dengan melibatkan peserta BPJS mendanai biaya perawatan (cost sharing) untuk penyakit yang membutuhkan perawatan medis lama dan berbiaya tinggi (katastropik).

Penyakit-penyakit katastropik yang disebutkan adalah jantung, gagal ginjal, kanker, stroke, sirosis hepatitis, talasemia, leukimia, dan hemofilia. Baca selengkapnya: Atasi Defisit, BPJS Kesehatan Ajukan Skema Cost Sharing bagi Peserta.

Ide soal cost sharing ini baru sebatas referensi dan usulan. Seperti dikutip dari Kompas.com, Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris mengatakan, pembiayaan perawatan penyakit katastropik selama ini cukup menguras kantong BPJS Kesehatan. Setidaknya ada delapan penyakit katastropik itu yang bisa dipilih untuk dibiayai dengan skema cost sharing

Usulannya, cost sharing ini tidak akan berlaku bagi seluruh peserta BPJS Kesehatan. Cost sharing hanya akan berlaku bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dari golongan mampu atau peserta mandiri. Namun, sekali lagi, ini baru sebatas ide. Baca selengkapnya: Bantah Isu yang Beredar, BPJS Kesehatan Pastikan Tetap Jamin Biaya 8 Penyakit

Pembiayaan penyakit-penyakit tadi memang memerlukan biaya yang sangat tinggi dan sangat menguras keuangan BPJS. Dan penyakit kardiovaskuller masuk di antara penyakit katastropik tadi.

Data BPJS Kesehatan yang dirilis di Kompas.com, untuk penyakit jantung, misalnya, sepanjang Januari-September 2017 saja ada 7,08 juta kasus dengan total klaim mencapai Rp 6,51 triliun.

Pada tahun 2016, ada 6,52 juta kasus dengan total biaya Rp 7,48 triliun. Bahkan, sepanjang sembilan bulan pertama tahun ini ada 10,80 juta kasus dari delapan penyakit katastropik yang menguras biaya BPJS Kesehatan sebesar Rp 12,29 triliun.

Jumlah itu setara dengan 19,68 persen dari total biaya pelayanan kesehatan yang BPJS Kesehatan hingga September 2017.

Data di rumah sakit maupun di masyarakat menunjukkan penyakit kardiovaskuler, yang terdiri dari penyakit jantung koroner, penyakit jantung hipertensi dan stroke, adalah penyebab utama kematian pada kelompok usia dewasa dan lanjut usia.

Beberapa tahun terakhir ini penelitian-penelitian menunjukkan bahwa sindrom metabolik, yaitu sekumpulan gejala yang meliputi peningkatan lingkar pinggang (perut buncit), peningkatan kadar trigliserida darah, penurunan kadar HDL kolesterol darah, tekanan darah tinggi dan peningkatan kadar gula darah, diketahui meningkatkan risiko terjadinya penyakit jantung koroner.

Salah satu kriteria sindrom metabolik untuk kawasan Asia menyatakan bahwa seseorang dinyatakan menderita sindrom metabolik bila mempunyai minimal tiga dari lima komponen berikut:
1. Peningkatan lingkar pinggang (>90 cm untuk laki-laki, >80 cm untuk wanita);
2. Peningkatan kadar trigliserida darah (>150 mg/dl);
3. Kadar HDL kolesterol yang rendah (laki-laki<40mg/dl, wanita < 50 mg/dl);
4. Tekanan darah tinggi (sistolik ≥130 / diastolik ≥ 85 mm Hg); dan
5. Kadar gula darah puasa > 110 mg/dl).

Makin banyak komponen sindrom metabolik dimiliki seorang individu, makin tinggi risiko individu tersebut menderita penyakit kardiovaskuler (stroke, jantung koroner).

Baca juga : BPJS Kesehatan Berhemat demi Tutupi Defisit Anggaran

Kelompok usia produktif Indonesia pada saat ini ditengarai mempunyai beban pekerjaan yang tinggi, aktivitas fisik yang kurang memadai, dan pola makan yang cenderung tinggi kadar karbohidrat dan lemaknya, sehingga berisiko untuk menderita penyakit jantung koroner pada usia yang relatif masih muda.

Analisa data riset kesehatan dasar (riskesdas) 2013 menunjukkan bahwa prevalensi sindrom metabolik pada masyarakat Indonesia menunjukkan angka cukup tinggi, pada kelompok dewasa dan lanjut usia (lansia) mencapai 22,8 persen. Prevalensi pada wanita 27,5 persen lebih tinggi dibanding pada laki-laki (16,5 persen).

Kombinasi terbanyak 3 komponen sindrom metabolik pada riset kesehatan dasar ini adalah kombinasi lingkar pinggang yg meningkat, tekanan darah tinggi dan kadar HDL kolesterol yang rendah.

Bila kita melihat gambaran prevalensi yang di atas 20 persen tadi maka jumlah komunitas yang akan/bisa menjadi kelompok katastropik di Indonesia sangat tinggi, karena risiko seorang dengan sindrom metabolik untuk menjadi seorang dengan penyakit kardiovaskuler cukup tinggi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com