KOMPAS.com - Setiap bintang punya komposisi kimia yang unik. Biasanya, komposisi kimia ini bisa digunakan untuk menentukan usia bintang tersebut.
Baru-baru ini, sebuah tim astronom internasional mengungkapkan komposisi kimia dari 350.000 bintang di galaksi Bima Sakti. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari proyek pemindaian langit.
Tujuannya adalah mengungkapkan "saudara" dari matahari yang hilang.
Data besar dari survei Galactic Archaeology atau juga dikenal sebagai GALAH ini berupaya memberikan wawasan baru ke dalam formasi dan evolusi Bima Sakti.
Baca juga: Muncul 3 Lubang Baru di Matahari, Seberapa Bahayakah untuk Bumi?
Secara keseluruhan, GALAH menyelidiki lebih dari satu juta bintang menggunakan spektograf HERMES. Spektograf ini merupakan instrumen Teleskop Anglo-Australian di Australian Astronomical Observatory, New South Wales.
HERMES mengukur warna cahaya yang berbeda dari bintang-bintang untuk menentukan proporsi atau keseimbangan unsur-unsur kimia yang dikandungnya.
"Survei ini memungkinkan kami untuk melacak leluhur bintang-bintang, dan menunjukkan kepada para astronom bagaimana semesta bertahan dari kandungan hidrogen dan helium, tepat setelah Big Bang, untuk memenuhi semua elemen yang ada sekarang di Bumi untuk kehidupan," ungkap Martin Asplun, pemimpin analisis data survei ini dikutip dari Newsweek, Rabu (18/04/2018).
Ketika sudah selesai, kumpulan data ini bisa membantu para astronom untuk menemukan gugus bintang asli galaksi kita. Gugus bintang yang dimaksud adalah yang melahirkan matahari dan saudaranya sebelum dipisahkan.
Untuk diketahui, setiap bintang dilahirkan dari kelompok. Karena itu, biasanya bintang-bintang yang lahir dari gugus yang sama memiliki komposisi kimia atau "DNA" yang sama pula.
Dengan kata lain, untuk menemukan saudara sebuah bintang, para astronom perlu menganalisis DNAnya.
"Mengukur setiap kelimpahan unsur kimia untuk mendapatkan DNA begitu banyak bintang adalah tantangan besar, tapi itulah yang telah kami lakukan. Jadi ini adalah pencapaian ilmiah yang luar biasa," ujar Asplund.
Baca juga: Matahari Meredup pada 2050, Apa Efeknya bagi Pemanasan Global?
Analisis data dari HERMES yang dipublikasikan dalam jurnal Royal Astronomical Society dan Astronomy & Astrophysics ini dilakukan dengan bantuan sebuah set mesin pembelajaran alogaritma yang dikenal dengan nama The Cannon. Mesin ini dilatih untuk mengenali pola dalam informasi cahaya yang dikumpulkan dari bintang-bintang.
"The Cannon terinspirasi dari nama Annie Jump Cannon, seoranga stronom Amerika perintis yang mengklasifikasikan sekitar 350.000 spektrum bintang dengan mata selama beberapa dekade seabad yang lalu," kata Ly Duong dari Australia National University yang ikut mengembangkan kode The Cannon.
"Kode (The Cannon) menganalisis bahwa banyak bintang dalam detail yang jauh lebih besar dalam waktu kurang dari sehari," imbuhnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.